Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hanya Sepeda yang Berlalulalang di Cheung Chau Hongkong

TIKET sudah di tangan. Hahaha, lumayan juga harganya. Berapa? Jangan tanya dab, wis lali. Soalnya, sudah lama sekali perjalanan saya menuju pulau kecil ini. Ya, tenan, kecil. Luas Pulau Cheung Chau sekitar 242 hektare. Bentuknya seperti dua pulau bundar yang dihubungkan oleh sebuah area sempit.

Nggak percoyo? Saya ada fotonya. Cek yo dab. Jadi, pulau kecil di barat daya Hongkong ini saking kecilnya, penduduknya nggak banyak. Paling maksimal, 25.000 jiwa. Di antara populasi itu, salah satunya para TKW dari Indonesia lho. "Kulo saking Trenggalek, Mas," kata perempuan di sebelah saya.

Lha, taki kiro arek Hongkong. Manglingi tenan. Secara postur kan nggak beda-beda jauh. Iki arek Trenggalek, kulite yo putih, irung pesek, mripat nggak patiyo mblolok. Pake jaket tebal, celana panjang, dan, sepatu but. "Jan, sampean manglingi banget," tukas saya.


Arek Trenggalek itu baru saja pulang ke Indonesia, dan balek lagi ke majikannya di Pulau Cheung Chau. Dia memilih kapal feri (fast feri) seperti saya. Maklum, kapal ini bisa mencapai pulau dalam waktu 40 menit. Benar-benar menghemat waktu, meski harga tiketnya cukup mahal. Ya, lagi-lagi kalau dikurskan rupiah.

Turun dari kapal, saya berpisah dengan Mbak Pembantu dari Trenggalek itu. Sayang, lupa nanya siapa namanya ya. Mbak, nek moco blog ku ini, imil yo. Jok lali, lembaran dolare isok diweselno nang Suroboyo. Si mbak bergegas jalan kaki sementara saya, celingak celinguk mau jalan ke kanan atau ke kiri.


Ya, sudah jalan kaki saja. Jalanan teratur rapi. Baru beberapa langkah, irit-iritan sepeda melintas. Saya minggir. Satu dua dari rombongan pesepeda itu minggir, dan memarkir begitu sepedanya di tepi jalan. Opo wong Hongkong ki kere? Kok nggak onok sing numpak motor?  Opo maneh mobil?


Ingat kata-kata Mbak Pembantu tadi, kalau di Cheung Cau itu paling enak naik sepeda. Udaranya bersih, segar, dan ke mana-mana memang dekat. Suasana lingkungan asri, tenang, nyaris tidak ada hiruk pikuk. Nggak koyok nang kampungku kae, akeh arek nongkrong, rokokan, nyetel musik banter-banter.

Sepeda menjadi moda transportasi utama. Banyak jenis sepedanya. Rata-ratanya sepeda kayak sepeda jengki, zaman dulu itu. Atau, sepeda onta, onthel, bukan MTB atau sejenisnya. Yang naik bukan hanya orang tua tapi juga anak muda, cowok cewek. Wah, dadi kelingan sing ora-orang. Kelingan zaman mboncengke si titik titik.


Capek jalan, saya mampir warung kecil. Pesan ikan bakar, hahahha, yo enak ki. Nggak kalah sama Muara Angke di Jakarta atau Ikan Bakar Cianjur....uppss bukan promo lho. Abis itu, nyobain makanan lokal dari jagung yang digiling. Harganya 10 dolar HK, rasanya manis. Ya lah, kan jagungnya manis.

Sayang sekali, pas saya berkunjung ke sini ngak bisa menikmati pertunjukkan apapun. Padahal, katanya, ada acara terkenal di Cheung Chau, yakni Bun Festival yang diadakan setahun sekali di musim semi. Perayaan berlangsung beberapa hari untuk menghormati dewa-dewi yang telah melindungi warga kota.


Pasti seru lha onok parade, tari barong, serta lomba mendaki  "gunung bakpao". Wah, asyik sekali to. Mangkane, Hong Kong Tourisme Board, undang saya dong nanti. Pengin lihat festival itu. Pengin merasakan mendaki gunung bakpao. Lha, selama ini, biasanya mendaki 'gunung kem.....' (*)

Tung Wan Beach 
Cheung Chau Island
Hong Kong
Getting There :  Cari pelabuhan feri Central di Hongkong Island (Star Ferry Pier). Silakan  menuju dermaga nomor 5 yang melayani rute ke pelabuhan Cheung Chau di Cheung Chau Island. Tinggal pilih : feri biasa dan cepat. Hanya beda 20 menit. Tiba di  Cheung Chau, cukup berjalan melalui Tung Wan Road sekitar 10 menit ke Tung Wan Beach.
Auto Europe Car Rental