Perjalanan Panjang Penuh Makna ke Pulau Siberut, Mentawai
PERJALANAN cukup panjang dalam Trip Sumatra saya, mulai 22 November-1 Desember 2016. Rute saya, dari Malang-Surabaya-Jakarta-Lampung, kemudian dari Lampung-Padang naik bus selama 32 jam. Kanan kiri hanya terlihat perkebunan karet dan sawit.
Tiba di Padang berlanjut dengan kapal Mentawai Fast dari Pelabuhan Muara River, kurang lebih 45 menit dari bandara. Kapal boat ini beroperasi enam kali dalam seminggu, melayani rute Padang ke Tua Pejat (utara Pulau Sipora), Siberut, Sikakap, dan Sikabaluan. Berkapasitas 200 tempat duduk.
Saya dan tiga teman berangkat Sabtu (26/11/2016) pukul 07.00. Sempat berhenti tiga jam di Pelabuhan Pokai Sikabaluan. Rute kapal ini adalah Padang-Sikabaluan-Siberut. Layanan sama kalau mengambil hari Selasa.
Kami tiba di Muara Siberut pukul 14.00 waktu setempat. Nginap sehari di rumah pemilik perahu yang kami sewa. Muara Siberut adalah salah satu pusat keramaian di pulau itu. Kalau hari pasaran, banyak suku pedalaman Mentawai turun untuk berbelanja.
Menurut cerita, Pulau Siberut terpisah dari daratan Asia sekitar setengah juta tahun lalu sejak masa Pleistocene. Keterpisahan ini membuat pulau yang terletak 100-155 km lepas pantai kota Padang, Sumatera Barat, terisolasi dan memiliki berbagai flora dan fauna endemik.
Kurang lebih 60 persen kawasan Pulau Siberut merupakan hutan primer Dipterocarpaceae, hutan rawa, hutan primer campuran, hutan pantai dan hutan mangrove. Hutan didominasi pohon besar, berukuran lebih dari 60 meter.
Melihat penduduk asli, kebudayaan dan kehidupan sehari-hari mereka, saya suka sekali. Siberut menjadi pilihan perjalanan saya, setelah seorang teman, yang akhirnya ikut memandu kami, Imron, mengunggah keindahan Mentawai.
Semakin saya browsing di internet, ketertarikan saya semakin kuat. Saya jatuh cinta dengan keramahtamahan mereka. Tersenyum dan berjabat tangan adalah hal yang biasa mereka lakukan jika bertemu orang asing atau baru dikenal.
Perjalanan panjang antarpulau itu membuahkan banyak cerita. Perjalanan mencapai sebuah permukiman penduduk asli di Mentawai tidak akan pernah terlupakan. Kami berempat, saya dan tiga teman lain, sudah siap di perahu dengan satu mesin turbo.
Perahu kayu yang cukup panjang. Kurang lebih empat atau lima meter dan lebar 80-an cm. Muat duduk satu orang, berderet ke belakang. Sisanya, satu pemandu dan di belakang ada yang mengoperasikan kemudi dan mesin perahu. Pagi itu, kami siap melahap perjalanan panjang, masuk lebih dalam ke sebuah permukiman warga asli suku Mentawai.
Nahkoda perahu adalah Aman Lepon, dia tidak lain anak Aman Laulau, sikerei (sebutan dukun pengobatan tradisional) di desa tempat yang akan kami kunjungi. Memang sangat kebetulan sekali. "Kita akan jalan kurang lebih lima jam," kata Aman Lepon setengah berbisik.
Bunyi mesin perahu menderu. Perahu perlahan bergerak, membelah Sungai Rereget menuju pedalaman. Tujuan kami adalah Desa Muara Butui. Arahnya, di hulu Sungai Siberut Selatan.
Kami akan melewati sejumlah desa lain seperti Purou-Muntei-Rokdok-Madobak-Ugai-Butui, dan di desa yang paling ujung, Matotonan. Setiap desa ini punya keunikan budaya masing-masing.
Sungai Rereget berliku-liku dan menanjak. Di kanan kiri hanya ada pohon sagu, pisang, kandang babi. Sesekali kami berpapasan dengan perahu motor yang turun ke hilir. Nahkoda mengurangi kecepatan. Sungai memang cukup lebar tapi ombak dari kecepatan perahu cukup besar.
Benar, lima jam kemudian kami menepi. Tapi ini bukan tujuan akhir. Desa yang kami tuju masih harus masuk lagi ke hutan. Kami beristirahat di rumah seorang bidan, kenalan teman kami, Imron.
"Untuk ke desa itu, kita harus jalan kaki, naik turun, susur sungai, menyeberang sungai dan melewati jalan berlumpur," kata Imron.
Pria dengan banyak cerita ini adalah teman kami, asli Padang. Dialah yang membuat saya terpesona dengan keindahan Siberut. Sempat menghitung, biaya perjalanan cukup besar. Untunglah, bergabung dua teman lagi Yovita Natalia (Surabaya) dan Susan (Jakarta).
Setelah berjalan cukup jauh, kami tiba di desa. Kebetulan, ada anggota keluarga yang pulang berburu dan mendapat rusa dengan ukuran cukup besar. Tradisi makan daging rusa dianggap sebagai pesta besar.
Semua anggota keluarga dalam komunal uma itu diundang . Uma merepresentasikan subsuku di Mentawai. Ada pula yang menyebut uma sebagai nama rumah-rumah tradisional sebagian besar suku lokal. Meski tidak banyak, jarak tinggal antarmereka lumayan jauh.
Salah satu orang dewasa meniup tanda 'undangan' makan itu dengan kerang raksasa. Nadanya tertentu tapi enak didengar. Sayang sekali, saya tidak dapat menirukannya. Tak lama, berdatanganlah para kerabat. Berkumpullah kurang lebih 20-an orang, termasuk anak-anak. (tris sulistiowati, pengusaha asal Malang)
Tiba di Padang berlanjut dengan kapal Mentawai Fast dari Pelabuhan Muara River, kurang lebih 45 menit dari bandara. Kapal boat ini beroperasi enam kali dalam seminggu, melayani rute Padang ke Tua Pejat (utara Pulau Sipora), Siberut, Sikakap, dan Sikabaluan. Berkapasitas 200 tempat duduk.
Saya dan tiga teman berangkat Sabtu (26/11/2016) pukul 07.00. Sempat berhenti tiga jam di Pelabuhan Pokai Sikabaluan. Rute kapal ini adalah Padang-Sikabaluan-Siberut. Layanan sama kalau mengambil hari Selasa.
Kami tiba di Muara Siberut pukul 14.00 waktu setempat. Nginap sehari di rumah pemilik perahu yang kami sewa. Muara Siberut adalah salah satu pusat keramaian di pulau itu. Kalau hari pasaran, banyak suku pedalaman Mentawai turun untuk berbelanja.
Menurut cerita, Pulau Siberut terpisah dari daratan Asia sekitar setengah juta tahun lalu sejak masa Pleistocene. Keterpisahan ini membuat pulau yang terletak 100-155 km lepas pantai kota Padang, Sumatera Barat, terisolasi dan memiliki berbagai flora dan fauna endemik.
Kurang lebih 60 persen kawasan Pulau Siberut merupakan hutan primer Dipterocarpaceae, hutan rawa, hutan primer campuran, hutan pantai dan hutan mangrove. Hutan didominasi pohon besar, berukuran lebih dari 60 meter.
Melihat penduduk asli, kebudayaan dan kehidupan sehari-hari mereka, saya suka sekali. Siberut menjadi pilihan perjalanan saya, setelah seorang teman, yang akhirnya ikut memandu kami, Imron, mengunggah keindahan Mentawai.
Semakin saya browsing di internet, ketertarikan saya semakin kuat. Saya jatuh cinta dengan keramahtamahan mereka. Tersenyum dan berjabat tangan adalah hal yang biasa mereka lakukan jika bertemu orang asing atau baru dikenal.
Perjalanan panjang antarpulau itu membuahkan banyak cerita. Perjalanan mencapai sebuah permukiman penduduk asli di Mentawai tidak akan pernah terlupakan. Kami berempat, saya dan tiga teman lain, sudah siap di perahu dengan satu mesin turbo.
Perahu kayu yang cukup panjang. Kurang lebih empat atau lima meter dan lebar 80-an cm. Muat duduk satu orang, berderet ke belakang. Sisanya, satu pemandu dan di belakang ada yang mengoperasikan kemudi dan mesin perahu. Pagi itu, kami siap melahap perjalanan panjang, masuk lebih dalam ke sebuah permukiman warga asli suku Mentawai.
Nahkoda perahu adalah Aman Lepon, dia tidak lain anak Aman Laulau, sikerei (sebutan dukun pengobatan tradisional) di desa tempat yang akan kami kunjungi. Memang sangat kebetulan sekali. "Kita akan jalan kurang lebih lima jam," kata Aman Lepon setengah berbisik.
Bunyi mesin perahu menderu. Perahu perlahan bergerak, membelah Sungai Rereget menuju pedalaman. Tujuan kami adalah Desa Muara Butui. Arahnya, di hulu Sungai Siberut Selatan.
Kami akan melewati sejumlah desa lain seperti Purou-Muntei-Rokdok-Madobak-Ugai-Butui, dan di desa yang paling ujung, Matotonan. Setiap desa ini punya keunikan budaya masing-masing.
Sungai Rereget berliku-liku dan menanjak. Di kanan kiri hanya ada pohon sagu, pisang, kandang babi. Sesekali kami berpapasan dengan perahu motor yang turun ke hilir. Nahkoda mengurangi kecepatan. Sungai memang cukup lebar tapi ombak dari kecepatan perahu cukup besar.
Benar, lima jam kemudian kami menepi. Tapi ini bukan tujuan akhir. Desa yang kami tuju masih harus masuk lagi ke hutan. Kami beristirahat di rumah seorang bidan, kenalan teman kami, Imron.
"Untuk ke desa itu, kita harus jalan kaki, naik turun, susur sungai, menyeberang sungai dan melewati jalan berlumpur," kata Imron.
Pria dengan banyak cerita ini adalah teman kami, asli Padang. Dialah yang membuat saya terpesona dengan keindahan Siberut. Sempat menghitung, biaya perjalanan cukup besar. Untunglah, bergabung dua teman lagi Yovita Natalia (Surabaya) dan Susan (Jakarta).
Setelah berjalan cukup jauh, kami tiba di desa. Kebetulan, ada anggota keluarga yang pulang berburu dan mendapat rusa dengan ukuran cukup besar. Tradisi makan daging rusa dianggap sebagai pesta besar.
Semua anggota keluarga dalam komunal uma itu diundang . Uma merepresentasikan subsuku di Mentawai. Ada pula yang menyebut uma sebagai nama rumah-rumah tradisional sebagian besar suku lokal. Meski tidak banyak, jarak tinggal antarmereka lumayan jauh.
Salah satu orang dewasa meniup tanda 'undangan' makan itu dengan kerang raksasa. Nadanya tertentu tapi enak didengar. Sayang sekali, saya tidak dapat menirukannya. Tak lama, berdatanganlah para kerabat. Berkumpullah kurang lebih 20-an orang, termasuk anak-anak. (tris sulistiowati, pengusaha asal Malang)