Menikmati Kemegahan Candi Phra That Doi Suthep di Chiang Mai
BEGITU banyak candi Budha bertebaran di Chiang Mai sebagai perwujudan budaya lama (Lanna Kingdom). Lanna berarti 'Tanah Sejuta Sawah', kekayaan pertanian di bagian utara Thailand ini. Tapi bukan sawah saja yang terkenal, produk lokal kerajinan dan tradisinya begitu menarik.
Pada Juni 2017, saya berkesempatan pergi ke tempat itu. Kami semua sudah turun dari minivan. Perempuan yang memandu langsung menyodorkan pertanyaan : mau naik lewat tangga atau naik lift. Saya menengok kanan dan kiri, di bagian mana tangga itu berada. Wouw, tinggi juga.
Pemandu itu mengatakan, jumlah anak tangga ada sekitar 300-an. Tingginya mengingatkan saya pada tangga di Batu Caves, Kuala Lumpur. Pilihan kedua, naik lift tapi harus membayar dan bersedia antre sebelum naik. Tidak mahal.
Kami memang sudah sampai Wat Phra That Doi Suthep. Terjemahan bebasnya, Wat artinya candi, Doi itu gunung. Jadi, Wat Phra That Doi Suthep itu kurang lebih maknanya Candi Phra That yang berada di Gunung Suthep. Kurang lebih 15 km dari pusat kota.
Doi Suthep merupakan gunung tertinggi di Thailand. Kurang lebih 3000 mdpl. Lokasi candi berada di perbukitannya. Pemandu yang mendampingi kami bercerita, kalau candi yang dibangun pada tahun 1383 itu sangat unik.
Salah satu raja dari dinasi Lana Kingdom (Raja Gue-Na), melekatkan sebuah benda berharga di badan gajah. Dia bernadar, di tempat manapun gajah meletakkan benda itu, maka di situlah dia akan membangun candi yang megah.
Wat Phra That Doi Suthep menurut saya, salah satu yang tidak boleh terlewatkan ketika mengunjungi Chiang Mai. Transportasinya relatif mudah karena banyak songthae yang punya rute teratur ke lokasi.
Karena kaki sudah cukup pegal berjalan, kami akhirnya sepakat menggunakan lift. Ini lift yang unik juga, karena jalannya bukan naik ke atas, tapi miring sesuai dengan kontur perbukitan. Kurang lebih 15 menit, kami sudah sampai.
Seperti kalau masuk Candi Besakih di Bali, untuk masuk di halaman utama kuil candi, kami harus melepas alas kaki (sandal atau sepatu). Tidak perlu khawatir hilang. Seperti candi-candi lain khas Lana Kingdom, warna kuning keemasan menjadi ciri utama.
Ada chedi (candi utama) besar yang terbuat dari pelat tembaga di kuil ini. Menurut pemandu kami, tingginya kurang lebih 20 meter. Chedi berselubung emas dan di dalamnya berisi peninggalan suci Sang Budha.
Sore itu, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, saya memuaskan diri memandang dan memotret. Beberapa pengunjung lain, rela bersimpuh di depan patung Budha tidur. Berdoa beberapa lama, lalu berdiri kembali, menghormat dengan menundukan kepala.
Sebagian lain, ada yang membawa hio. Mereka, kata pemandu saya, juga berdoa dengan cara yang berbeda, yakni berputar searah jarum jam, mengelilingi bangunan chedi. "Arah jarum jam itu simbol kehidupan, jadi nggak boleh sebaliknya," ujarnya.
Selepas memanjakan mata di halaman utama Wat Phra That, pemandu mengajak kami bergeser ke ujung tempat lain. Dari tempat itu, kami leluasa sekali melihat hamparan kota Chiang Mai, termasuk landasan pacu bandara kota itu. (*)
Pada Juni 2017, saya berkesempatan pergi ke tempat itu. Kami semua sudah turun dari minivan. Perempuan yang memandu langsung menyodorkan pertanyaan : mau naik lewat tangga atau naik lift. Saya menengok kanan dan kiri, di bagian mana tangga itu berada. Wouw, tinggi juga.
Pemandu itu mengatakan, jumlah anak tangga ada sekitar 300-an. Tingginya mengingatkan saya pada tangga di Batu Caves, Kuala Lumpur. Pilihan kedua, naik lift tapi harus membayar dan bersedia antre sebelum naik. Tidak mahal.
Kami memang sudah sampai Wat Phra That Doi Suthep. Terjemahan bebasnya, Wat artinya candi, Doi itu gunung. Jadi, Wat Phra That Doi Suthep itu kurang lebih maknanya Candi Phra That yang berada di Gunung Suthep. Kurang lebih 15 km dari pusat kota.
Doi Suthep merupakan gunung tertinggi di Thailand. Kurang lebih 3000 mdpl. Lokasi candi berada di perbukitannya. Pemandu yang mendampingi kami bercerita, kalau candi yang dibangun pada tahun 1383 itu sangat unik.
Salah satu raja dari dinasi Lana Kingdom (Raja Gue-Na), melekatkan sebuah benda berharga di badan gajah. Dia bernadar, di tempat manapun gajah meletakkan benda itu, maka di situlah dia akan membangun candi yang megah.
Wat Phra That Doi Suthep menurut saya, salah satu yang tidak boleh terlewatkan ketika mengunjungi Chiang Mai. Transportasinya relatif mudah karena banyak songthae yang punya rute teratur ke lokasi.
Karena kaki sudah cukup pegal berjalan, kami akhirnya sepakat menggunakan lift. Ini lift yang unik juga, karena jalannya bukan naik ke atas, tapi miring sesuai dengan kontur perbukitan. Kurang lebih 15 menit, kami sudah sampai.
Seperti kalau masuk Candi Besakih di Bali, untuk masuk di halaman utama kuil candi, kami harus melepas alas kaki (sandal atau sepatu). Tidak perlu khawatir hilang. Seperti candi-candi lain khas Lana Kingdom, warna kuning keemasan menjadi ciri utama.
Ada chedi (candi utama) besar yang terbuat dari pelat tembaga di kuil ini. Menurut pemandu kami, tingginya kurang lebih 20 meter. Chedi berselubung emas dan di dalamnya berisi peninggalan suci Sang Budha.
Sore itu, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, saya memuaskan diri memandang dan memotret. Beberapa pengunjung lain, rela bersimpuh di depan patung Budha tidur. Berdoa beberapa lama, lalu berdiri kembali, menghormat dengan menundukan kepala.
Sebagian lain, ada yang membawa hio. Mereka, kata pemandu saya, juga berdoa dengan cara yang berbeda, yakni berputar searah jarum jam, mengelilingi bangunan chedi. "Arah jarum jam itu simbol kehidupan, jadi nggak boleh sebaliknya," ujarnya.
Selepas memanjakan mata di halaman utama Wat Phra That, pemandu mengajak kami bergeser ke ujung tempat lain. Dari tempat itu, kami leluasa sekali melihat hamparan kota Chiang Mai, termasuk landasan pacu bandara kota itu. (*)


