Menikmati Papua dalam 24 Jam, Mujahir Bakar, Papeda dan Mi Instan
MENIKMATI Papua selama 24 jam, membuat saya makan tiga kali. Santapan pertama adalah makan malam di kota Sentani. Sebuah depot, tapi disebut restoran ikan bakar. Menunya hanya satu. Ikan mujahir. Tinggal memilih cara pengolahannya : dibakar atau digoreng.
Dari daftar menu, yang terpasang di dinding, harga seporsi Rp 85.000. Wauwow, harga yang cukup fantastik dibandingkan di kota Surabaya. Nasi dan minuman, seporsi ikan mujahir hanya Rp 7.000. Bahkan ikan mujahr mentah, sekilo Rp 12.000 dapat tiga ekor.
Karena lapar dan ditraktir, akhirnya saya santap saja mujahir bakar dengan sambal mantah dan kecap. Nah, makan kedua, sarapan di Hotel Grand Allison. Tidak beda dan tidak ada yang istimewa. Sama dengan menu buffee di hotel lainnya.
Nasi putih, nasi goreng, nasi kuning, tumis kangkung, ayam goreng, dan lainnya. Ingin pesan omelet telur, harus menunggu lumayan lama. Kalau di hotel di kota besar, omelete disajikan terbuka, ini omelete dimasak di dapur hotel. Ketika nasi sudah habis, omlete telur baru akan datang.
Makan ketiga adalah di Restoran Yogwe. Menunya, lagi-lagi ada mujahr. Selain itu papeda, menu khas Papua. Ini adalah olahan tepung sagu sebagai pengganti nasi. Penampakannya seperti lem kanji dan untuk mengambilnya, menggunakan sendok kayu seperti garpu yang hanya ada dua kaki.
Sebagai temannya, olahan ikam gabus dengan bumbu kuning berkuah. Cukup cocok, lidah tidak menolak. Rasanya gurih pedas. Cukup nikmat. Ketika saya santap dengan sagu, ternyata menjadi berbeda. Akhirnya saya pilih menyantap ikan kuah kuning ini dengan nasi.
Perjalanan panjang lagi ke Surabaya dengan transit ke Makassar. Karena Citilink dari Makassar ke Surabaya, sudah tidak ada jadwal saat saya tiba di Makassar pukul 18.30 WITA, saya menggunakan Lion Air untuk ke Surabaya dengan jadwal pukul 21.00 WITA. Sambil menunggu saya nikmati Soto Wawan. (sri handi lestari)
Dari daftar menu, yang terpasang di dinding, harga seporsi Rp 85.000. Wauwow, harga yang cukup fantastik dibandingkan di kota Surabaya. Nasi dan minuman, seporsi ikan mujahir hanya Rp 7.000. Bahkan ikan mujahr mentah, sekilo Rp 12.000 dapat tiga ekor.
Karena lapar dan ditraktir, akhirnya saya santap saja mujahir bakar dengan sambal mantah dan kecap. Nah, makan kedua, sarapan di Hotel Grand Allison. Tidak beda dan tidak ada yang istimewa. Sama dengan menu buffee di hotel lainnya.
Nasi putih, nasi goreng, nasi kuning, tumis kangkung, ayam goreng, dan lainnya. Ingin pesan omelet telur, harus menunggu lumayan lama. Kalau di hotel di kota besar, omelete disajikan terbuka, ini omelete dimasak di dapur hotel. Ketika nasi sudah habis, omlete telur baru akan datang.
Makan ketiga adalah di Restoran Yogwe. Menunya, lagi-lagi ada mujahr. Selain itu papeda, menu khas Papua. Ini adalah olahan tepung sagu sebagai pengganti nasi. Penampakannya seperti lem kanji dan untuk mengambilnya, menggunakan sendok kayu seperti garpu yang hanya ada dua kaki.
Sebagai temannya, olahan ikam gabus dengan bumbu kuning berkuah. Cukup cocok, lidah tidak menolak. Rasanya gurih pedas. Cukup nikmat. Ketika saya santap dengan sagu, ternyata menjadi berbeda. Akhirnya saya pilih menyantap ikan kuah kuning ini dengan nasi.
Perjalanan panjang lagi ke Surabaya dengan transit ke Makassar. Karena Citilink dari Makassar ke Surabaya, sudah tidak ada jadwal saat saya tiba di Makassar pukul 18.30 WITA, saya menggunakan Lion Air untuk ke Surabaya dengan jadwal pukul 21.00 WITA. Sambil menunggu saya nikmati Soto Wawan. (sri handi lestari)
