Payung-payung Cantik ala Borsang di Chiang Mai, Thailand
MINIVAN yang membawa saya berbelok ke sebuah halaman cukup luas, kemudian berhenti dekat songthaew, moda transportasi khas Thailand. Dari tempat berhenti itu, sudah langsung terlihat tulisan 'Umbrella Making Centre'.
Ya, saya berada di Borsang (sering juga disebut Bo Sang atau Bor sang), pertengahan Juni 2017. Ada yang mengatakan Rom Borsang, karena rom itu bahasa Thailand yang berarti payung. Pagi itu sudah cukup banyak pengunjung yang datang.
Tempat ini memang terkenal sebagai pusat suvenir dan pembuatan payung. Semua dikerjakan dengan tangan. Payungnya dari ukuran paling kecil hingga terbesar hingga diameter dua meteran. Payungnya cantik, warna warni dan berhias lukisan.
Lokasinya di San Kamphaeng Road, kurang lebih 8 km dari pusat kota Chiang Mai. Galeri dan workshopnya buka setiap hari mulai pukul 08.30 dan tutup pukul 17.00 waktu setempat. Tidak perlu khawatir, tidak ada tiket masuk alias gratis.
Jangan membayangkan tempat pembuatan payung ini sebuah bangunan megah, atau seperti pabrik. Lebih mirip rumah kampung, berbentuk huruf U, tempatnya terbuka, yang di bagian tengah untuk menjemur payung yang selesai digambar. Sebagian besar ada unsur gambar gajah.
Para perajinnya? Oh, mengingatkan saya ketika berkunjung dan melihat proses pembuatan batik tulis Roro Djonggrang di Yogyakarta. Nyaris semua perajin di Borsang ini, sudah lanjut usia. Sebagian besar perempuan.
Satu orang mengerjakan bagian-bagian tertentu dari payung. Ada yang menghaluskan bambu untuk jari-jari payung, merakit kerangka, membubut gagang payung, memasang kertas, hingga melukis di kertas payung.
Pemandu wisata bercerita kepada saya, bagi warga Thailand, payung bukan saja menawarkan perlindungan dari matahari dan hujan tapi bisa memainkan peran budaya sekaligus filosofi di agama Budha.
Payung adalah sebuah simbol raja duduk di atas tahta, di bawah payung sembilan tingkat yang mewakili delapan titik arah mata angin dan beban kekuasaan. Dalam agama Budha, payung merupakan simbol perlindungan dari penderitaan dan kerugian.
Rom Borsang menawarkan payung-payung cantik yang tahan air dan tidak tahan air. Kertasnya berasal dari adonan kertas yang berasal dari serat pohon murbei (white mulberry) yang direndam air. Konon, tanaman ini banyak dibawa pendatang dari Tiongkok yang menetap di Chiang Mai.
Supaya tidak berubah kecokelatan, adonan kertas direndam dengan klorin sehingga bubur berwarna putih. Setelah itu, barulah, direndam dalam bak berisi pewarna kimia atau makanan. Kadang, pewarna alami dari bunga mawar.
Satu sergapan kamera saya menangkap gerakan perempuan yang membuat gagang payung. Cara menghaluskannya dengan alat yang tajam bikin miris tapi perempuan itu dengan nyaman melakukannya.
"Ada pelindung di bagian jarinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan," kata pemandu yang menemani saya.
Tahapan itu memang harus dikerjakan secara manual. Saya menjadi lebih tahu, ada banyak detail pembuatan payung yang tidak bisa dikerjakan oleh pabrikan. Hal itu berlaku pula saat melihat langsung proses pelukisan payung. Bagian itu disebut 'Umbrella Hand Paint'.
Pria tua dengan kepala sedikit botak ini tekun dan hati-hati sekali ketika menggambar bentuk gajah di bagian tepi payung. Warnanya masih dasar, yakni putih, kontras dengan latar belakang payung yang berwarna hijau tua.
Saya kemudian beranjak ke bagian depan, sebuah bangunan dengan ruangan cukup luas dan dingin karena ber-AC. Tempat ini semacam galeri produk-produk payung yang sudah jadi dan siap jual. Harganya dalam baht, setara puluhan sampai ratusan ribu rupiah.
Tinggal pilih, membeli payung suvenir yang mini untuk pajangan meja atau magnet kulkas, atau ukuran besar untuk dekorasi ruangan, atau untuk fungsi tertentu seprti pelindung panas atau berpayung ketika hujan.
Tapi, ada yang aneh. Ruang galeri itu sepi. Saya tidak melihat pengunjung yang datang ke kasir. "Ini salah satu pusat kerajinan lokal yang mendapat perhatian khusus pemerintah, termasuk dari Tourism Authority of Thailand (TAT). Jadi, dipertahankan," ujar pemandu.
Rom Borsang memang punya sejarah kuat di Chiang Mai dalam menghidupkan perekonomian. sejak kedatangan biksu Pre Khru In Tha dari Myanmar yang melakukan perjalanan spiritual ke utara Thailand.
Dia berjumpa dengan warga desa yang membuat payung dari kertas. Dia membantu menginovasi payung hias dengan cat warna warni. Hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari dan didermakan. Itulah kenapa ada patung biksu itu di depan galeri.
Ciri khas payung Borsang membawanya menjadi label produk lokal paling dicari. Bahkan, sampai ada penyelenggaraan 'Bo Sang Umbrella Festival', sebuah 'sister festival' dari Festival Payung Indonesia yang rutin digelar di Solo. (*)
Ya, saya berada di Borsang (sering juga disebut Bo Sang atau Bor sang), pertengahan Juni 2017. Ada yang mengatakan Rom Borsang, karena rom itu bahasa Thailand yang berarti payung. Pagi itu sudah cukup banyak pengunjung yang datang.
Tempat ini memang terkenal sebagai pusat suvenir dan pembuatan payung. Semua dikerjakan dengan tangan. Payungnya dari ukuran paling kecil hingga terbesar hingga diameter dua meteran. Payungnya cantik, warna warni dan berhias lukisan.
Lokasinya di San Kamphaeng Road, kurang lebih 8 km dari pusat kota Chiang Mai. Galeri dan workshopnya buka setiap hari mulai pukul 08.30 dan tutup pukul 17.00 waktu setempat. Tidak perlu khawatir, tidak ada tiket masuk alias gratis.
Jangan membayangkan tempat pembuatan payung ini sebuah bangunan megah, atau seperti pabrik. Lebih mirip rumah kampung, berbentuk huruf U, tempatnya terbuka, yang di bagian tengah untuk menjemur payung yang selesai digambar. Sebagian besar ada unsur gambar gajah.
Para perajinnya? Oh, mengingatkan saya ketika berkunjung dan melihat proses pembuatan batik tulis Roro Djonggrang di Yogyakarta. Nyaris semua perajin di Borsang ini, sudah lanjut usia. Sebagian besar perempuan.
Satu orang mengerjakan bagian-bagian tertentu dari payung. Ada yang menghaluskan bambu untuk jari-jari payung, merakit kerangka, membubut gagang payung, memasang kertas, hingga melukis di kertas payung.
Pemandu wisata bercerita kepada saya, bagi warga Thailand, payung bukan saja menawarkan perlindungan dari matahari dan hujan tapi bisa memainkan peran budaya sekaligus filosofi di agama Budha.
Payung adalah sebuah simbol raja duduk di atas tahta, di bawah payung sembilan tingkat yang mewakili delapan titik arah mata angin dan beban kekuasaan. Dalam agama Budha, payung merupakan simbol perlindungan dari penderitaan dan kerugian.
Rom Borsang menawarkan payung-payung cantik yang tahan air dan tidak tahan air. Kertasnya berasal dari adonan kertas yang berasal dari serat pohon murbei (white mulberry) yang direndam air. Konon, tanaman ini banyak dibawa pendatang dari Tiongkok yang menetap di Chiang Mai.
Supaya tidak berubah kecokelatan, adonan kertas direndam dengan klorin sehingga bubur berwarna putih. Setelah itu, barulah, direndam dalam bak berisi pewarna kimia atau makanan. Kadang, pewarna alami dari bunga mawar.
Satu sergapan kamera saya menangkap gerakan perempuan yang membuat gagang payung. Cara menghaluskannya dengan alat yang tajam bikin miris tapi perempuan itu dengan nyaman melakukannya.
"Ada pelindung di bagian jarinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan," kata pemandu yang menemani saya.
Tahapan itu memang harus dikerjakan secara manual. Saya menjadi lebih tahu, ada banyak detail pembuatan payung yang tidak bisa dikerjakan oleh pabrikan. Hal itu berlaku pula saat melihat langsung proses pelukisan payung. Bagian itu disebut 'Umbrella Hand Paint'.
Pria tua dengan kepala sedikit botak ini tekun dan hati-hati sekali ketika menggambar bentuk gajah di bagian tepi payung. Warnanya masih dasar, yakni putih, kontras dengan latar belakang payung yang berwarna hijau tua.
Saya kemudian beranjak ke bagian depan, sebuah bangunan dengan ruangan cukup luas dan dingin karena ber-AC. Tempat ini semacam galeri produk-produk payung yang sudah jadi dan siap jual. Harganya dalam baht, setara puluhan sampai ratusan ribu rupiah.
Tinggal pilih, membeli payung suvenir yang mini untuk pajangan meja atau magnet kulkas, atau ukuran besar untuk dekorasi ruangan, atau untuk fungsi tertentu seprti pelindung panas atau berpayung ketika hujan.
Tapi, ada yang aneh. Ruang galeri itu sepi. Saya tidak melihat pengunjung yang datang ke kasir. "Ini salah satu pusat kerajinan lokal yang mendapat perhatian khusus pemerintah, termasuk dari Tourism Authority of Thailand (TAT). Jadi, dipertahankan," ujar pemandu.
Rom Borsang memang punya sejarah kuat di Chiang Mai dalam menghidupkan perekonomian. sejak kedatangan biksu Pre Khru In Tha dari Myanmar yang melakukan perjalanan spiritual ke utara Thailand.
Dia berjumpa dengan warga desa yang membuat payung dari kertas. Dia membantu menginovasi payung hias dengan cat warna warni. Hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari dan didermakan. Itulah kenapa ada patung biksu itu di depan galeri.
Ciri khas payung Borsang membawanya menjadi label produk lokal paling dicari. Bahkan, sampai ada penyelenggaraan 'Bo Sang Umbrella Festival', sebuah 'sister festival' dari Festival Payung Indonesia yang rutin digelar di Solo. (*)



