Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Strategi Melewati Random Check di Imigrasi Jepang (3-Habis)

JAWABAN selpih dengan Geisha di Gion ternyata membuka jalan masuk lain pertanyaannya. “Kamu bawa uang berapa mau main dengan Geisha?

Ups! Cepat aku mengklarifikasi jawabanku sebelumnya, “Aku mau selpih saja, bukan mau main, saya sudah punya istri pak.”

Bapak itu menggeleng pelan setelah mendengar translate jawabanku dari wanita di seberang sana. Bibirnya tersungging senyum kecil, senyum yg kutafsirkan merasa lucu.

“Terus kamu bawa uang berapa?
Ini inti pertanyaaannya. Aku merogoh tas selempangku. Tas yang selalu menemaniku ke mana saja, bahkan ke toilet. Di dalamnya uang dan paspor yang paling aku takutkan tertinggal.

Aku mengeluarkan uang lembaran dolar USD pecahan $100 dan yen pecahan 10.000. Sebagai pejalan kere aku tak membawa uang banyak, hanya secukupnya sesuai kebutuhan hidup. Uangku 7 lembar USD 100, dan 3 lembar yen 10.000.

Sengaja aku tak menukar semua dengan Yen, akan kupakai  hanya secukupnya, sisanya yang USD bisa aku simpan untuk trip selanjutnya.

Aku hitung pelan di depan bapak itu, lalu kuletakkan di meja semua uangku, “700 dollar dan 30.000 yen, ini uangnya.” Bapak itu mencatat jumlahnya di pojokan kertas.  Dia mempersilakan memasukkan kembali uangku.

“Setelah ke Gion kamu mau kemana lagi?...
“Ke kuil” jawabku cepat. “Kuil apa?... tanyanya tak kalah cepat.
“Itu kuil yang ada gerbangnya banyak.”…  Bapak itu menatapku, meminta jawaban yang spesifik. Rasa lapar dan lelah menghambat aliran darah ke otak, kuil Fushimi Inari.

Au lupa namanya tepat di saat yg dibutuhkan. “Kuil seribu gerbang, Inari… Fushimi Inari! Jawabku bahagia. Bahagia ketika menemukan sesuatu tepat disaat terakhir.

Bapak itu melihat itinerariku, mencatat sesuatu dan kembali melontarkan pertanyaan.

“Ke Kawaguchi mau apa?....“Aku mau foto dengan background gunung Fujiyama” jelasku padanya, kembali dia menggeleng dan tersenyum.
Iya, Gunung Fujiyama memang prioritas tujuanku, aku sampe menghapal lagu Gunung Fujiyama yang dinyanyikan Titik Sandora, lagu yang membawaku ke masa kecil, masa di saat kebahagiaan bermain.

Hari itu aku merasa sudah dekat dengan Gunung Fujiyama, hanya imigrasi yg membatasi pertemuan itu.

“Ke Tokyo ngapain?... “Aku pulang ke Indonesia dari Narita.” Pesawatku terbang dari sana tambahku, bapak itu kembali mencocokkan jawaban dengan tiket pulangku.

Kami tenggelam dalam sunyi beberapa saat, hingga dia bicara agak lama dengan wanita di seberang sana.  Dia mengeluarkan semua dokumen pendukung yang aku bawa, yang ternyata telah di copy-nya, termasuk halaman halaman paspor saya yang sudah di stempel.

Dia memilah satu satu, dan menyodorkan halaman copy-an yang ada tertempel visa Iran.

“Ini visa Iran?... “Iya” jawabku cepat dia, memperhatikan tanggal kunjunganku ke Iran. Pikiranku berspekulasi, apakah Jepang akan sama seperti cerita Amerika menolak passport yg pernah masuk Iran?

“Ke Iran ngapain?.. … “Jalan-jalan sama foto di Persepolis” jawabku singkat, mencegah pertanyaan panjang tentang Iran. Berhasil, pertanyaan tentang Iran selesai.

Dia mengambil lembar lain, stempelnya agak kabur, tapi masih bisa terbaca tulisan Sabiha Gochen. Dia mengarahkan jarinya pada stempel buram berbentuk bulat itu, “Itu Turki, Istambul, aku menjawab sebelum dia bertanya, aku arahkan tunjukku pada stempel lain, tanpa diminta aku memberitahunya.

“Yang ini Georgia, Uni Eropa” jawabku, padahal ku tau Georgia belumlah resmi masuk UE. Selanjutnya Myanmar, Thailand dan berakhir di stempel Singapore. Aaku merasa menguasai keadaan sesaat, saat itu. 

Dia merapikan semua kertas itu dan mengangguk menatapku.
Setelah semuanya selesai aku bertanya pada wanita di ujung telpon sana. “Jadi aku bagaimana?...

Wanita itu, wanita misterius bagiku, hanya suara tak tampak badan, berbicara beberapa saat dengan bapak itu, baru menjawab pertanyaanku.

“Kamu menunggu dulu, masih menunggu keputusan atasan.” Duaaar! Aku masih digantung juga tanpa jawaban, sebagaimana tulisan ini menggantung teman-teman, sebagaimana saat kuliah dulu digantung gebetan yang kunyatakan cintaku, tapi lebih parah saat ini.

Wawancara ini berakhir. Kami beranjak menuju ruang tempatku pertama kali dikumpulkan. “Bagaimana? Lolos?.. Tanya salah seorang dari 3 orang rombongan itu. “Masih menunggu jawaban atasannya” jawabku.

“Kami langsung divonis tadi? Aku hanya mengangkat bahuku, isyarat tak tau kenapa aku belum divonis juga.  Dua orang dari mereka terlihat lelah, murung tak bersemangat tentunya.

Salah seorang matanya memerah terlihat. Menangis? Entahlah….
Kami tenggelam dalam pikiran masing masing. Aku mengirim WA pada istriku, minta doanya, jawabannya bikin sakit perut.

"AKU SAKIT PERUT" jawabnya singkat. PSIKOTROMATIS jawabnya lagi lewat whatapp. Perjalanan ke Jepang ini memang penuh drama.

Dari masalah visa bolak balik kirim dokumen, hingga salah kirim ke Jakarta, padahal seharusnya ke Denpasar, Konjen Jepang wilayah Bali dan Nusa Tenggara, aku memakai jasa agen untuk visa Jepang ini.

Hitunganku lebih murah dari pada pulang pergi, akomodasi dll ke Denpasar langsung. Tempat tinggalku di pedalaman kampung di Sumbawa Barat memerlukan biaya ekstra untuk bisa melihat dunia, berbeda dengan mereka yg tinggal di kota besar.

Paspor yang tertempel visa baru aku terima 4 hari sebelum keberangkatan. Sebulan sebelumnya aku sudah tanya sana sini tentang Imigrasi Jepang ini.

Temanku bulan Juli baru pulang dari sana, Mbak Tju member Backpacker International juga, kucecar trik melewati imigrasi. “Santai saja, dandan yang rapi, meyakinkan, pasti lolos” itu saja?” Iya” jawabnya.

Okky Miraza baru juga balik dari Jepang, pertanyaan sama tapi jawaban berbeda “Gak usah rapi-rapi, penampilan backpacker saja Om, saya sandal jepitan” dang! Triknya bertolak belakang.

Aku putuskan mengikuti trik pertama. Aku pakai kemeja terbaik yang pernah  kumiliki. Jins biru dan sepatu tracking. Keduanya masuk, rapi ala backpacker.

Tapi ternyata imigrasi tak tau itu, tak tau kalo kemeja yg kupakai adalah yang terbaik, kena random cek, ya kena. Mereka punya hak absolute di sini.

Waktu adalah teman terbaik kesepian. Sesaat setelah keluar pintu pesawat, aku sudah buat status di wall pesbuk  “Selamat Sore Osaka” dilengkapi foto foto bandara Osaka.

Apa jadinya kalo hari ini aku gagal masuk Jepang, apa yang akan ku ceritakan di pesbuk? Entahlah, status itu tak lebih penting dari hal yg kualami sekarang.

Pintu kaca itu terbuka dan bapak itu muncul. “Mana foto di US Singapore, tunjukkan padaku” bincangnya dengan  inggris patah patah.

Aku membuka gdrive, sinyal kencang, foto terpampang. Aku berikan HP padanya, dia mengusap jarinya pada layar HP memperhatikan foto-foto yang lain, kuperhatikan kepalanya menggeleng pelan, bibirnya senyum tipis. 

Dia mengembalikan HP padaku, tangan kirinya menepuk bahuku, sebuah sentuhan penuh makna. Aku lihat layar HP-ku masih menyala, di sana terpampang foto selpihku dengan SPG MotoGP di Malaysia tahun lalu, aku tertawa.

Belum ada juga keputusan… masih menunggu….Tak lama berselang bapak itu berdiri di pintu membawa pasporku di tangannya. Dia menujukku, memintanya mengikuti. Aaku berdiri dan berjalan, kembali dia menunjuk tas backpackku yang berada di bawah meja.

Oh.. aku diminta membawa smua barangku… inikah akhirnya? Sukses? Aku pamit pada tiga orang teman seruanganku, teman sepesawat tapi berbeda nasib, terdengar lirih mereka berkata “selamat ya mas.”

Sebuah ucapan yang bagiku membutuhkan daya yang besar untuk diucapkan mengingat nasib mereka berbeda, tapi mereka masih bisa sempat mengucakan kata itu. Aku berterima kasih atas ucapan itu. Masih aku ingat sampe hari ini.

Aku ikuti bapak itu ke gate imigrasi, dia menempelkan kartu akses dan pintu terbuka. Aku diantarnya dan diberikan paspor. Aku bolak balik mencari stempel imigrasi tak ada di sana, hanya stiker putih kecil.

“Where the stamp?... tanyaku. Dia menyilangkan tangannya seperti huruf X, artinya tak ada. Kertas itu cukup.
Inikah rasanya? Rasanya seperti adegan seorang narapidana bebas, menghirup udara segar.

Aku berjalan menuju custom. Ada dua antrean di depanku ditanya barang bawaannya. Giliranku, aku serahkan form isian custom, dia menerima dan hanya bertanya dengan diam, menunjuk dua tasku dan memberi kode dengan jarinya membentuk angka dua, victory.

Iya aku menjawab “just two bag”. Ok! Katanya mempersilahkanku lewat. Puih… aku menginjakkan kaki di Negeri Sakura, negeri samurai, geisha, doraemon, sake dan tentu saja gunung Fujiyama. Negeri yang dulu tak pernah aku pikirkan untuk kudatangi.


Di tengah eforia itu seseorang menepuk bahuku, “Do u speak Japanese?... tanyanya? Seorang laki laki muda Jepang, tinggi, gagah, badannya dibalut kemeja putih bercelana kain hitam. Dia memperlihatkan badge warna emasm tertulis POLICE di permukaannya.

Sial! Ini kenapa lagi! Im Police terangnya, “U are Indonesia?... yes jawabku.. “Oh.. orang Indonesia, dia berbahasa Indonesia! Iya jawabku tersenyum. “Darimana kamu tau saya dari Indonesia tanyaku. “Kulit sawo matang “jawabnya.

Aku memang membaca wanita jepang memang menyukai kulit sawo matang laki-laki Indonesia, tapi tak aku kira, ini laki-laki yang suka, mencirikan aku, Polisi pula. “Bisa lihat paspornya.”

Aku merogoh tas selempang cokelat, mengeluarkan passport dan memberikan padanya, sembari dia mencatat namaku, dia kembali bertanya “Baru tiba dari Indonesia?....  “sudah dari tadi  2 jam lalu, aku diinterogasi di imigrasi 2 jam” jawabku.

Woaaah…ahahaha.. dia tertawa sambari mengembaikan pasporku. Dia ramah, komentar Woaaahnya mengingatkan aku film Jepang  dengan tokoh yang konyol. “iya kami, sekarang dalam kondisi siaga, menghadapai Olimpiade 2020, setiap pendatang yg di curigai akan ditanyakan.

"oh jawabku pendek, “kami melaksanakan tugas demi keamanan negara kami” lanjutnya… oh ya.. itu perlu, “Apakah aku termasuk yg dicurigai? Mukaku muka pencari kerja ya” sambil tertawa aku bertanya.

"Dia tertawa “apakah kamu akan mencari kerja di sini? Pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan, menohok. Aku menjawab cepat “tidak..tidak.. aku punya pekerjaan di Indonesia, aku hanya ingin berlibur.” Aku tertawa.

Kami seperti teman akrab, padahal baru ketemu dan di Polisi. Aku tak mau berlama lama dengan seorang Polisi. Aku tanya di mana membeli tiket kereta ke tengah kota? “Owh..iya kamu naik ekskalator itu, nanti belok kiri. Ada banyak mesin penjual tiket di situ, ke semua jurusan.”

Aku berterima kasih, menyalami tangannya dan melangkah meninggalkannya. Akhir cerita ini aku sukses masuk Jepang, hal pertama membuatku terpana adalah kloset berremote. Au coba semua tombol, rasanya geli, saat air fire in the hole…. Terima kasih Jepang. (sumber : WAG)

Auto Europe Car Rental