Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kisah 3 Sahabat dalam Tragedi Pendakian Gunung Slamet Tahun 1985 (1)


SEBELUM saya memulai, cerita ini diangkat dari kisah nyata. Cerita langsung dari narasumbernya. Harap hormati setiap keputusan dan sikap yang diambil. Jangan menyalahkan. Narasumber sudah bersedia dan mengizinkan menyebarkan cerita ini dalam bentuk naskah.

Bagi teman-teman yang sudah membaca/menonton di portal lain, harap ditahan dulu share linknya dan mohon hormati kami yang sudah membuat tulisan cerita ini agar seluruh pembaca dapat meresapi cerita ini dan membacanya bersama sama.

Jika ada yang melanggar, entah membagikan link, atau memancing orang untuk menghubungi via DM, maka dgn terpaksa kami akan hapus commentnya. Kami blokir demi menjaga kondusifitas cerita.

Tragedi Pendakian Gunung Slamet tahun 1985 dengan narasumber : "Alex" Poedji Winarto. Kisah ini membawa kita ke masa lalu saat pendakian gunung masih menjadi suatu hal belum lazim, dan cenderung dianggap sebagai kegiatan ilegal.

Pendakian ini dilakukan oleh tiga orang sahabat. Mereka merupakan mahasiswa IKIP Semarang, atau kini bernama Unnes. Ketiganya, Poedji Winarto atau biasa dipanggil Alex, karena sifatnya sering serampangan.

Di antara yang lain, dia adalah yang paling keras dan paling berpengalaman. Pendakian ke Gunung Slamet adalah pendakian gunungnya yang ke-13.  Dia mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, dikenal sering melakukan pendakian bersama kelompoknya.

Kedua, Iqbal Latief, pria berkacamata tebal. Kuliah satu fakultas Alex.  Hubungannya sangat dekat. Selain karena satu jurusan dan satu kelas, hobi mendaki menyatukan keduanya dalam beberapa perjalanan bersama.

Iqbal sudah mendaki 8 kali dan merupakan anggota pendakian yang paling bijaksana dan sifatnya 180 derajat dari sahabatnya, Alex. Dia tenang dan berpikir matang serta setia kawan. Selain itu, sebagqai pembina pramuka, mengerti cara survival di hutan, mencari jejak, tali temali dan sebagainya.

Anggota ketiga, Gagah Pribadi, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Baru 4 kali mendaki. Awalnya, tergabung dengan organisasi mapala jurusannya, namun organisasi ini sangat jarang mengadakan pendakian gunung dan lebih sering melakukan latihan fisik dengan memanjat pohon.

Alex selaku ‘pentolan’ dari komunitas pendaki saat itu sempat mengejek organisasi mapala ini. Tidak disangka, ejekan ini begitu mengena kepada Gagah yang saat itu sudah sangat ingin merasakan sensasi pendakian gunung yang dia idam-idamkan.

Setelah menunggu 1 Semester, Gagah memberanikan dirinya bergabung dengan komunitas Alex dan keluar dari organisasi mapala jurusannya. Walau sempat dicap sebagai anak mami karena semua yang Gagah ingin selalu dibelikan keluarganya dan fisiknya tidak sekuat Alex dan Iqbal, tekad kuat Gagah.

Kemauannya untuk berlatih fisik akhirnya mengantarkan Gagah pada pendakian pendakiannya bersama Alex.

Cerita ini berasal dari penuturan langsung Poedji Winarto atau Alex, leader dari rombongan. Dimulai saat ketiganya berencana mendaki Gunung Slamet untuk pertama kalinya via Bambangan.

Ketiganya tiba di Serang, Purbalingga, lalu melanjutkan berjalan kaki untuk mencapai Desa Bambangan. Perjalanan melalui jalan tapak berlumpur yang masih sangat minim permukiman penduduk.

Akses jalan belum baik. Ketiganya baru tiba di desa Bambangan menjelang Maghrib. Saat itu ketiganya mendaki dengan status pendaki liar. Pada era itu,  untuk mendapatkan akses dan izin mendaki gunung memang sangat sulit. Tidak seperti sekarang.

Alex dan kedua sahabatnya hanya meminta izin kepada penduduk sekitar saja dan tidak melapor ke petugas Perhutani di Serang. Ketika memasuki Desa Bambangan, ketiganya bertemu rombongan pendaki dari Club UPL (Unit Pandu Lingkungan) Universitas Jenderal Soedirman.

Sempat bertegur sapa. Mereka terlibat obrolan. Salah satunya, mengenai kasus meninggalnya seorang pendaki di Gunung Slamet satu minggu sebelumnya, akibat hipotermia. Nama korban itu, Hartoyo.

Gunung Slamet memang dikenal cukup berbahaya dengan bagian batas vegetasi yang curam serta bebatuan karang yang tajam serta udara dingin di puncaknya. Bisa di bawah 0 derajat Celsius. Ini menjadikan Slamet salah satu gunung yang beresiko tinggi.

Setelah salat Isya, Alex, Iqbal dan Gagah memulai pendakian ke Gunung Slamet. Saat itu Pos 1 terletak di Samarantu (Saat ini, Pos 4). Jarak Samarantu yang cukup jauh, ditambah lagi hujan gerimis mengguyur jalur pendakian kala itu membuat pendakian ketiganya terasa sangat terjal dan berat.

Beruntung, dengan pengalaman mendaki gunung yang dimiliki oleh Alex dan Iqbal, ketiganya mampu meneruskan perjalanan ditengah hutan belantara yang lebat itu. Berbeda dengan Gagah, dia cukup kepayahan hingga harus dibantu oleh Iqbal.

Ketiganya berjalan beriringan, Alex memimpin jalan dan Iqbal membantu Gagah di belakang. Nasib baik, gerimis mereda dan langit menjadi cerah, dengan cahaya bulan yg menyinari pepohonan jalur pendakian malam itu.

Perjalanan mereka menuju Pos 1 mengharuskan mereka melewati sebuah “terowongan alam” yang terbuat dari dedaunan dan semak belukar,  melengkung membentuk terowongan.

Alex berada di depan, masuk terowongan itu terlebih dahulu,  Iqbal dan Gagah mengikutinya dari belakang. Alex pertama keluar dari terowongan itu, mendapati 2 bangunan permanen berwarna putih, dengan desain menyerupai cungkup  (atap yang biasa ada di atas makam).

Karena baru pertama kali mendaki Slamet dan tidak tahu bagaimana wujud Pos Samarantu, Alex mengira bangunan bercungkup itu Pos 1. "Bal, Gah, cepat, kita udah mau sampai, ini aku ketemu pos Samarantu,” panggil Alex.

“Iya, tunggu, ini aku sama Gagah” jawab Iqbal yang masih di dalam lorong.
“Tapi aneh ini, posnya gak ada pintunya,” kata Alex lagi setelah sadar bangunan di depannya total ditembok putih, Tidak seperti pos pendakian gunung lain yang pernah didaki berupa gubuk terbuka dengan atap ranting serta dedaunan.

Maklum, tidak ada medsos dan informasi waktu itu. "Ya udah coba kamu lihat dulu aja,” kata Iqbal lagi masih dari dalam terowongan. Sepertinya dia kesulitan karena harus mengikuti kecepatan berjalan Gagah yang melambat.

Merasa kedua temannya masih lama, Alex lantas mendekati cungkup makam itu untuk untuk mencari pintu masuknya. Dia menyalakan senter dan … tek! Saat lampu senter dinyalakan, bangunan yang tadi ada 5 meter di depannya, tiba tiba saja hilang!

Alex berdiri mematung dalam keterkejutannya. Bangunan kokoh yang dikira Pos 1 itu sebelumnya sangat di bawah terang bulan, hanya 5 meter di hadapannya, tapi tiba tiba saja menghilang dan kembali menjadi pepohonan rimba.

Iqbal dan Gagah akhirnya keluar dari terowongan dan mendapati Alex masih berdiri dengan senter yang diarahkan ke pepohonan.

“Loh? Mana pos yang kamu bilang,” tanya Iqbal.
“Sumpah! Tadi saya liat di sini,” jawab Alex.
“Ya mana? Di sebelah mana?” tanya Iqbal lagi.
“Ya di sini. Tempat saya berdiri ini tadi ada posnya,” jawab Alex dengan yakin.

Ketiganya terdiam untuk beberapa saat, lalu Iqbal akhirnya berkata “Udah, ayo kita lanjut jalan. Kamu paling Cuma halusinasi.”
“Saya gak halusinasi! Orang saya sehat kok. Yang gak sehat itu kalian.  Saya jalan paling depan karena saya yang paling sehat,” bantah Alex yang terbawa emosi.

Dia mengumpat karena kesal. Sempat terjadi adu pendapat antara Iqbal dan Alex, apakah akan melanjutkan pendakian atau tidak. Alex bersikeras menetap dulu di lokasi itu   untuk membuktikan perkataannya sekaligus mencari taahu apa yang dilihat.

Benarkan karena halusinasi akibat ia kelelahan, atau ada alasan lain. Mereka bertiga bertahan di lokasi. Namun hingga jam 2 dini hari, bangunan itu tak lagi muncul. Siapa sangka, 2 bangunan berbentuk cungkup makam itu sepertinya, tanda awal sesuatu yang buruk akan terjadi.

Ketika sedang menunggu, rombongan UPL UnSoed menyusul ketiganya. Melihat rombongan ini lewat, Iqbal bertanya pada rombongan yang memang sudah lebih berpengalaman mendaki Slamet, sebagai bagian dari acara pelantikan organisasi.

“Pos 1 masih jauh toh mas?” tanya Iqbal
“Sudah deket kok mas. Ini juga udah area Samarantu,” jawab salah satu anggota rombongan.

Akhirnya, setelah mendengar itu, Alex menyetujui melanjutkan perjalanan. Benar saja, hanya 100 meter dari sana mereka menemukan Pos Samarantu yang sebenarnya. Sebuah gubuk sederhana dengan pelat  bertuliskan “POS 1 SAMARANTU” dan rombongan UnSoed beristirahat didalamnya.

“Loh kok berhenti di pos mas,” tanya Alex saat itu kepada salah satu anggota rombongan.
“Iya ini ada anggota cewek yang kram perut. Kalau gak sembuh sembuh, kita paling nunggu pagi aja terus turun,” jelasnya.
“Ooo.. okelah mas, kita duluan lanjut ke atas ya,” jawab Alex lagi sekaligus berpamitan.
“Ya mas. Nanti kalau dia sembuh, kita juga ketemu kok di puncak,” jawabnya.

Alex, Iqbal dan Gagah melanjutkan perjalanan dan meninggalkan rombongan UPL Unsoed. Ketiganya memang mengincar matahari terbit di puncak Gunung Slamet sehingga perjalanan harus dikejar sebelum kelewatan momen itu.

Keadaan Gagah mulai membaik sehingga perjalanan lebih lancar. Sayang, ketika matahari terbit, ketiganya belum mencapai puncak. Mereka masih berada di batas vegetasi Plawangan.

Kondisi di jalur batas vegetasi saat itu masih “abu abu”. Selain karena jumlah pendaki Gunung Slamet yang masih minim, jalur yang dilalui hanya ditandai dengan batu yang dicat putih setiap beberapa meter sebagai tanda arah ke puncak.

Singkat cerita, ketiganya berhasil sampai di puncak mengikuti tanda. Di sini mereka merasakan apa yang membuat Hartoyo meninggal di puncak seminggu sebelumnya: suhu udara yang amat sangat dingin dan membeku.

Untuk menggambarkan rasa dingin yang dirasakan ketiganya, di puncak itu mereka tidak boleh diam. Mereka harus menggerakan tubuh mereka agar tetap hangat. Sebentar saja mereka diam, seketika badan mereka terasa kaku.

Masalah suhu yang sangat rendah menyulitkan mereka makan. Jika mulut mereka menganga terlalu lama, maka rahang mereka akan sulit mengatup. Sebaliknya saat mereka menutup mulut, bibir dan mulutnya akan membeku dan sulit dibuka.

Mereka harus memakan kentang rebus yang mereka bawa sebagai bekal di puncak Slamet dengan bantuan tangan. Mereka menarik dan dorong rahang mereka sendiri agar bisa mengunyah kentang itu.

Setelah makan dan mengambil beberapa dokumentasi foto, ketiganya sepakat segera turun mengingat kondisi yang berbahaya. Apalagi di puncak saat ini hanya ada mereka, karena para mahasiswa Unsoed sepertinya tidak melanjutkan perjalanannya ke atas.

Sayang, baru saja akan turun, tiba tiba kabut tebal datang. Kabut tertebal yang pernah dilihat Alex yang sudah berpengalaman mendaki belasan kali. Saking tebalnya kabut itu, cahaya matahari benar-benar tertutup.

Ketika alex selaku pemimpin jalan mengarahkan lampu senter ke depan, cahaya senter itu seperti bertemu dinding putih. Senter yang dibawa tidak bisa menembus kabut tebal  lebih dari 2 meter.

Sumber: mwv.mystic (@mwv_mystic), 21 Agustus 2021. 

Auto Europe Car Rental