Ini 'Kota Belanda' yang Eksis di Jawa Tengah
INI 'Kota Belanda' yang eksis di Jawa Tengah. Ya, Salatiga, kota yang luasnya hanya 54 km2, yang seharusnya bisa ikut Kabupaten Semarang, tapi berdiri sendiri, otonom. Salatiga menjadi kota sendiri. Kok bisa sih. Kenapa juga Salatiga banyak gerejanya? Gimana sejarahnya?"
"Kenapa Salatiga identik dengan Gunung Merbabu? Padahal Gunung Merbabu itu sama sekali tidak masuk Salatiga." Masih banyak pertanyaan lainnya. Jumlah komen sampai ribuan. Hampir semua terpesona dengan kota sejuk di kaki Gunung Merbabu itu.
Sepertinya banyak sekali yang tertarik dengan kota mungil nan smart ini. Bahkan banyak yang langsung jatuh cinta hanya karena membaca, hingga berniat untuk mengunjungi kota sejuk ini. Jadi bagaimana sejarah Salatiga? Yuk kita bahas bersama
Salatiga itu candu, selalu ngangenin. Siapapun yang pernah ke sini, dijamin ingin datang lagi. Wajar banget sih. Soale dulu warga kulit putih (orang Belanda di jaman penjajahan kolonial) juga gagal move on dari kota yang dikelilingi pegunungan cantik nan dingin ini.
Salatiga dan Merbabu itu sangat identik. Pemandangan Gunung Merbabu sangat mendominasi dimanapun kita berada. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah deretan pegunungan cantik. Dari Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, Gunung Gajah, hingga Gunung Ungaran.
View inilah yang menjadikan Salatiga menjadi tempat tinggal favorit orang kulit putih di jaman dulu. Juga karena hawanya yang sejuk. Tahu tidak, di tahun 1930 itu tercatat ada 4.338 warga kulit putih yang menetap di Salatiga. Alias 20% dari jumlah total warga Salatiga.
Inilah alasan mengapa dulu Salatiga dijadikan Gemeente. Yaitu karena saking banyaknya warga Belanda yang menetap di sini. Salatiga menjadi gemeente terkecil di Hindia Belanda. Gemeente adalah sebuah kota independen yang dipimpin langsung oleh orang Belanda dan laporannya langsung ke Ratu Belanda.
Banyak sekali warga Belanda yang menetap disini, akhirnya dibangunlah infrastruktur paling canggih di jamannya. Salatiga ditata sesuai pola kota-kota di Belanda. Nama-nama jalanpun menggunakan nama Belanda. Seperti Juliana Lahan, Kampements weg, Kerkhof weg, achter weg dll.
Itu semua demi kenyamanan warga kulit putih agar mereka teringat kembali kampung halamannya di Belanda. Dulu itu, alun-alun di Salatiga pun mengikuti pola alun-alun Belanda sehingga tak ada masjid. Jika biasanya alun-alun pastilah berpusat di masjid, tapi dulu disini tidak demikian.
Yang ada adalah gereja. Tapi Alhamdulillah setelah zaman kemerdekaan, masjidpun dibangun di alun-alun. Ada juga bangunan khusus yang hanya boleh dimasuki oleh orang Eropa yaitu gedung Societeit Hatmonie. Gedung ini sangat ramai saat weekend dikunjungi warga kulit putih dari berbagai daerah di luar Salatiga.
Biasanya mereka mengadakan pesta dansa ataupun pertunjukan Opera. Saat weekend hotel-hotel di Salatiga selalu penuh. Para pejabat kolonial ataupun pemilik perkebunan area Merbabu, menghabiskan waktu di di kota. Menikmati suasana kota sambil memandang gunung Merbabu.
Pembangunan hotel berbintang di kota kecil ini ada sejarahnya. Dulu itu ada situasi yang kurang nyaman. Pangeran William Frederick Henry putra Raja William II akan berkunjung ke Salatiga. Kunjungan ini berkaitan dengan Salatiga sebagai penghasil kopi terbesar di zaman itu.
Akhirnya para pejabat pemerintahan kolonial bergegas membangun hotel mewah demi menghormati kedatangan pangeran. Sejak itu bermunculan hotel-hotel mewah di kota Salatiga. Yaitu Hotel Berg en Dal, Hotel Grand Kalitaman, serta Hotel Blommetein.
Satu peraturan yang tidak boleh dilanggar. Bahwa ruas jalan utama di perkotaan itu hanya boleh didirikan bangunan untuk warga kulit putih sedangkan warga pribumi harus tinggal di pedesaan.
Inilah sejarah mengapa saat ini di sepanjang ruas jalan utama perkotaan banyak ditemui gedung-gedung besar khas arsitektur Belanda. Karena memang dulunya hanya orang kulit putih yang menjadi warga perkotaan.
Dan, itulah mengapa banyak sekali ditemukan gereja di perkotaan. Karena memang dulunya warga perkotaan itu mayoritas kulit putih yang beragama Kristiani sedangkan warga pribumi muslim ada di pedesaan.
Salatiga terdiri dari 4 kecamatan. Buat keliling dari ujung ke ujung paling cuma butuh waktu satu jam. Jarak ke Salatiga lebih dekat daripada ke Ungaran. Terus apa bedanya Salatiga dengan Solo? Bedak. Solo itu Surakarta, jaraknya sekitar 50 km dari Salatiga. Nah Solotigo pengucapan lidah Jawa untuk Salatiga.
Huruf a menjadi o. Salatiga itu letaknya pertengahan antara Solo dan Semarang. Salatiga ini kotanya sejuk dan cantik. Kota favorit para meneer Belanda di zaman penjajahan dulu. Kota destinasi wisata para londo. Infrastruktur dan kantor pelayanan publik sangat bagus dan lengkap di sini.
Meskipun kotanya sangat kecil, tapi di sini bisa ditemukan berbagai macam suku bangsa dan agama. Dengan mudah bisa menemukan mahasiswa Manado, Batak, Papua, Ambon, Maluku ataupun NTT yang sedang menuntut ilmu disini. Ada yg sedang kuliah di UKSW atau sekolah teologi. Jangan salah, disini juga ada UIN yang gedungnya sangat megah.
Sering dijumpai bule sedang motoran di jalan, atau belanja di supermarket, atau sekadar jalan-jalan di trotoar. Mereka bisa jadi para pendeta ataupun guru di sekolah internasional. Atau bisa jadi karyawan perusahaan swasta asing. Yeah, disini terdapat beberapa perusahaan multinasional.
Sumber: Facebook
Sumber: Facebook (Widi Astuti)