Pengalaman Sehari di Bumi Angsa Duo Jambi
MATAHARI bersinar terik di bumi yang terkenal memiliki sungai terpanjang di Sumatera, Batanghari. Namun teriknya matahari tidak menyurutkan langkahku untuk menjelajahi tanah yang dikenal memiliki lambang Angsa Duo selama sehari.
Alkisah berdasarkan cerita rakyat, di sebuah daerah di Sumatera, seorang Raja sedang berjalan-jalan mencari daerah baru untuk pertanian. Tiba-tiba dilihatnya sepasang angsa berenang di sekitar sungai Batanghari. Sepasang angsa tersebut kemudian berlabuh di sebuah daerah yang subur di pinggir sungai. Sang Raja pun menamai daerah tersebut dengan daerah Angsa Duo (Angsa Dua = sepasang angsa).
Daerah yang subur tersebut, terutama dengan hasil buah-buahannya seperti durian, duku atau rambutan, lambat laun semakin berkembang menjadi sebuah daerah perdagangan dan perkebunan sawit. Buah duku yang dikenal sebagai hasil utama dari daerah tersebut pun kemudian dikenal dengan nama daerah lain, yaitu duku Palembang.
Menjelajahi kota ini dalam sehari memang tidaklah cukup, tapi bagi yang belum pernah ke Jambi seperti saya, dapat menganggapnya sebagai awal perkenalan untuk datang kembali ke sini suatu hari nanti. Untuk datang ke kota ini, ada beberapa penerbangan nasional yang bisa dipilih dari Jakarta, namun semua penerbangan hanya sekali terbang menuju Jambi.
Sedangkan untuk penginapan, ada banyak penginapan dengan harga terjangkau mulai Rp.300.000 – jutaan rupiah. Cukup diakses dari situs yang menyediakan penginapan di kota tersebut atau mencarinya di mesin pencari. Kita juga bisa melihat referensi nya sekaligus atas penginapan yang kita inginkan.
Jambi, ibukota provinsi dengan nama yang sama, dulunya merupakan wilayah salah satu pusat kerajaan Melayu. Sayangnya tidak banyak peninggalan sejarah kerajaan ini yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Salah satu lokasi yang terkenal dan dibangun di atas lahan bekas pusat kerajaan Melayu yaitu Masjid Agung. Masjid Agung ini dikenal juga dengan Masjid 1.000 tiang. Kenapa disebut 1.000 tiang? Karena tiangnya yang banyak, meskipun jumlahnya hanya mencapai 256 buah, tapi para wisatawan atau pun pelancong yang singgah di masjid menamakannya begitu.
Masjid ini baru didirikan tahun 1971, meskipun ide pembangunan sudah dibahas sejak 1960-an. Masjid bernama resmi Masjid Agung Al-Falah ini, berdiri diatas lahan seluas lebih dari 26.890 M2 atau lebih dari 2,7 Hektar, sedangkan luas bangunan masjid adalah 6.400 M2 dengan ukuran 80m x 80m. Sebegitu luasnya masjid sehingga masjid ini mampu menampung 10 ribu jamaah.
Tiang-tiang masjid seperti tulang dapat dilihat jelas dari luar masjid dikarenakan tidak ada kaca pintu dan jendela masjid. Tidak adanya sekat antara ruang dalam dan ruang luar inipun menjadikan masjid ini tidak memerlukan pendingin untuk mendinginkan ruangan.
Karena angin yang berhembus dari luar dan tingginya langit-langit mesjid, dengan jejeran lubang angin di bagian atas menjadikan ruang menjadi sejuk. Sementara di bagian untuk sholat, tiang-tiang berwarna emas dan memiliki ornamen bunga khas Jambi, membuat masjid ini kelihatan megah.
Setelah puas menjelajahi masjid kebanggaan masyarakat Jambi, saya pun mengelilingi kota Jambi, terutama kota Pecinan. Di wilayah ini, hampir mirip dengan pecinan lainnya, rumah-rumah bergaya rumah toko mendominasi wilayah perdagangan ini. Tapi satu yang khas di wilayah ini, terdapat rumah-rumah tinggi yang rapat, ternyata digunakan sebagai rumah burung wallet.
Rumah-rumah ini terletak di tengah kota. Hal lain yang terkenal dari pecinan ini, beberapa rumah masih bergaya lama, berupa rumah Melayu dengan kayu-kayunya dan ornamen yang khas. Di Pecinan ini juga kita dapat menemukan pasar keramik dengan motif yang kuno, seperti mangkuk bergambar ayam jago, dll.
Pasar Angsa Duo, sebagai pasar tradisional utama terlihat tetap ramai di siang itu. Meskipun keadaan pasar tidak terlalu terlihat dari luar karena sudah berada di bangunan pasar, tapi aku masih bisa melihat beberapa pedagang berjualan di luar pasar. Kelihatan hasil bumi seperti buah-buahan yang dijual, seperti nanas, pisang dll.
Dari pasar Angsa Duo, saya pun menuju sungai Batanghari untuk melihat pemandangan sungai. Saat saya kesana tengah dibangun jembatan penghubung antar sisi sungai yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Sayangnya jembatan tersebut kelihatan lambat pembangunannya.
Biasanya pada malam hari di kawasan pinggir sungai Batanghari ini, akan banyak penjual makanan seperti jagung rebus atau jagung bakar dll, dan bangku-bangku untuk menikmati pemandangan malam hari di pinggir sungai. Kawasan ini dikenal dengan nama kawasan Ancol, dan diminati oleh anak-anak muda di Jambi ini.
Jalan-jalan hari ini pun diakhiri dengan sesi belanja Batik di kawasan Batik khas Jambi, yang bermotif pecah duren. angsa duo atau kapal nelayan. Hal yang lucu sekaligus mengenaskan bagi saya, karena banyaknya perkebunan kelapa sawit, maka terdapat motif bunga sawit.
Padahal perkebunan kelapa sawit bukanlah hasil asli wilayah ini. Selain batik, saya juga membeli oleh-oleh khas Jambi, yaitu teh dari kebun teh di kawasan pegunungan Kerinci. Teh berlabel Aro ini bisa ditemukan di swalayan, pasar ataupun restoran khas Jambi.
Setelah puas berbelanja batik dan teh, saya pun makan mpek-mpek disebuah restoran mpek-mpek yang terkenal di kota ini, Warung H Slamet. Di sini kita bisa menikmati berbagai macam mpek-mpek, tekwan dan otak-otak.
Mpek-mpek yang khas disini, disajikan dalam bentuk rebus dan goreng, dan ada mpek-mpek berbentuk kerang berisi serutan pepaya muda, yang tidak ditemukan di daerah lain. Selain itu ada saus rasanya manis alias tidak pedas sehingga aman dikonsumsi bagi penggemar mpek-mpek yang tidak suka rasa pedas seperti saya.
Usailah perjalanan saya di Jambi, salah satu kota yang tengah berkembang di Sumatera, yang memiliki banyak sejarah dan budaya Melayu serta Tionghoa, namun sayangnya belum banyak yang menggali potensi wisata sejarah dan budayanya. Selain itu untuk mengunjungi kota ini harus menyewa mobil atau motor, karena jarangnya angkutan umum di kota ini dan tidak nyaman apabila berjalan kaki karena panasnya hawa kota ini.
Diperkirakan semakin panasnya hawa kota dikarenakan semakin banyaknya perkebunan sawit di daerah ini. Jadi, apabila memang ingin mengunjungi kota ini, rencana yang matang diperlukan. Terutama menyangkut transportasi dan penginapan. (diyah wara)
Alkisah berdasarkan cerita rakyat, di sebuah daerah di Sumatera, seorang Raja sedang berjalan-jalan mencari daerah baru untuk pertanian. Tiba-tiba dilihatnya sepasang angsa berenang di sekitar sungai Batanghari. Sepasang angsa tersebut kemudian berlabuh di sebuah daerah yang subur di pinggir sungai. Sang Raja pun menamai daerah tersebut dengan daerah Angsa Duo (Angsa Dua = sepasang angsa).
Daerah yang subur tersebut, terutama dengan hasil buah-buahannya seperti durian, duku atau rambutan, lambat laun semakin berkembang menjadi sebuah daerah perdagangan dan perkebunan sawit. Buah duku yang dikenal sebagai hasil utama dari daerah tersebut pun kemudian dikenal dengan nama daerah lain, yaitu duku Palembang.
Menjelajahi kota ini dalam sehari memang tidaklah cukup, tapi bagi yang belum pernah ke Jambi seperti saya, dapat menganggapnya sebagai awal perkenalan untuk datang kembali ke sini suatu hari nanti. Untuk datang ke kota ini, ada beberapa penerbangan nasional yang bisa dipilih dari Jakarta, namun semua penerbangan hanya sekali terbang menuju Jambi.
Sedangkan untuk penginapan, ada banyak penginapan dengan harga terjangkau mulai Rp.300.000 – jutaan rupiah. Cukup diakses dari situs yang menyediakan penginapan di kota tersebut atau mencarinya di mesin pencari. Kita juga bisa melihat referensi nya sekaligus atas penginapan yang kita inginkan.
Jambi, ibukota provinsi dengan nama yang sama, dulunya merupakan wilayah salah satu pusat kerajaan Melayu. Sayangnya tidak banyak peninggalan sejarah kerajaan ini yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Salah satu lokasi yang terkenal dan dibangun di atas lahan bekas pusat kerajaan Melayu yaitu Masjid Agung. Masjid Agung ini dikenal juga dengan Masjid 1.000 tiang. Kenapa disebut 1.000 tiang? Karena tiangnya yang banyak, meskipun jumlahnya hanya mencapai 256 buah, tapi para wisatawan atau pun pelancong yang singgah di masjid menamakannya begitu.
Masjid ini baru didirikan tahun 1971, meskipun ide pembangunan sudah dibahas sejak 1960-an. Masjid bernama resmi Masjid Agung Al-Falah ini, berdiri diatas lahan seluas lebih dari 26.890 M2 atau lebih dari 2,7 Hektar, sedangkan luas bangunan masjid adalah 6.400 M2 dengan ukuran 80m x 80m. Sebegitu luasnya masjid sehingga masjid ini mampu menampung 10 ribu jamaah.
Tiang-tiang masjid seperti tulang dapat dilihat jelas dari luar masjid dikarenakan tidak ada kaca pintu dan jendela masjid. Tidak adanya sekat antara ruang dalam dan ruang luar inipun menjadikan masjid ini tidak memerlukan pendingin untuk mendinginkan ruangan.
Karena angin yang berhembus dari luar dan tingginya langit-langit mesjid, dengan jejeran lubang angin di bagian atas menjadikan ruang menjadi sejuk. Sementara di bagian untuk sholat, tiang-tiang berwarna emas dan memiliki ornamen bunga khas Jambi, membuat masjid ini kelihatan megah.
Setelah puas menjelajahi masjid kebanggaan masyarakat Jambi, saya pun mengelilingi kota Jambi, terutama kota Pecinan. Di wilayah ini, hampir mirip dengan pecinan lainnya, rumah-rumah bergaya rumah toko mendominasi wilayah perdagangan ini. Tapi satu yang khas di wilayah ini, terdapat rumah-rumah tinggi yang rapat, ternyata digunakan sebagai rumah burung wallet.
Rumah-rumah ini terletak di tengah kota. Hal lain yang terkenal dari pecinan ini, beberapa rumah masih bergaya lama, berupa rumah Melayu dengan kayu-kayunya dan ornamen yang khas. Di Pecinan ini juga kita dapat menemukan pasar keramik dengan motif yang kuno, seperti mangkuk bergambar ayam jago, dll.
Pasar Angsa Duo, sebagai pasar tradisional utama terlihat tetap ramai di siang itu. Meskipun keadaan pasar tidak terlalu terlihat dari luar karena sudah berada di bangunan pasar, tapi aku masih bisa melihat beberapa pedagang berjualan di luar pasar. Kelihatan hasil bumi seperti buah-buahan yang dijual, seperti nanas, pisang dll.
Dari pasar Angsa Duo, saya pun menuju sungai Batanghari untuk melihat pemandangan sungai. Saat saya kesana tengah dibangun jembatan penghubung antar sisi sungai yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Sayangnya jembatan tersebut kelihatan lambat pembangunannya.
Biasanya pada malam hari di kawasan pinggir sungai Batanghari ini, akan banyak penjual makanan seperti jagung rebus atau jagung bakar dll, dan bangku-bangku untuk menikmati pemandangan malam hari di pinggir sungai. Kawasan ini dikenal dengan nama kawasan Ancol, dan diminati oleh anak-anak muda di Jambi ini.
Jalan-jalan hari ini pun diakhiri dengan sesi belanja Batik di kawasan Batik khas Jambi, yang bermotif pecah duren. angsa duo atau kapal nelayan. Hal yang lucu sekaligus mengenaskan bagi saya, karena banyaknya perkebunan kelapa sawit, maka terdapat motif bunga sawit.
Padahal perkebunan kelapa sawit bukanlah hasil asli wilayah ini. Selain batik, saya juga membeli oleh-oleh khas Jambi, yaitu teh dari kebun teh di kawasan pegunungan Kerinci. Teh berlabel Aro ini bisa ditemukan di swalayan, pasar ataupun restoran khas Jambi.
Setelah puas berbelanja batik dan teh, saya pun makan mpek-mpek disebuah restoran mpek-mpek yang terkenal di kota ini, Warung H Slamet. Di sini kita bisa menikmati berbagai macam mpek-mpek, tekwan dan otak-otak.
Mpek-mpek yang khas disini, disajikan dalam bentuk rebus dan goreng, dan ada mpek-mpek berbentuk kerang berisi serutan pepaya muda, yang tidak ditemukan di daerah lain. Selain itu ada saus rasanya manis alias tidak pedas sehingga aman dikonsumsi bagi penggemar mpek-mpek yang tidak suka rasa pedas seperti saya.
Usailah perjalanan saya di Jambi, salah satu kota yang tengah berkembang di Sumatera, yang memiliki banyak sejarah dan budaya Melayu serta Tionghoa, namun sayangnya belum banyak yang menggali potensi wisata sejarah dan budayanya. Selain itu untuk mengunjungi kota ini harus menyewa mobil atau motor, karena jarangnya angkutan umum di kota ini dan tidak nyaman apabila berjalan kaki karena panasnya hawa kota ini.
Diperkirakan semakin panasnya hawa kota dikarenakan semakin banyaknya perkebunan sawit di daerah ini. Jadi, apabila memang ingin mengunjungi kota ini, rencana yang matang diperlukan. Terutama menyangkut transportasi dan penginapan. (diyah wara)