Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pasar Gede Solo, Pasar Tertua, Buka 24 Jam

PASAR Gede Solo, begitu terkenalnya. Padahal ada embel-embel lain, yakni Pasar Gede Hardjonagoro. Tapi, orang mau gampangnya, jadi sebut saja Pasar Gede. Inilah pasar tertua di Kota Solo, berdiri sejak 1930. Pasar ini telah menjadi saksi dan terus akan menjadi  pusat interaksi sosial sekaligus monumen sejarah Surakarta. Apalagi, bukanya 24 jam. Nonstop, seolah mewakili denyut nadi kehidupan warga Solo dan sekitarnya.

Arsitek Belanda, Thomas Karsten yang menggagas bangunan pasar. Rancangannya dibuat tahun 1927 dan berhasil berdiri serta beroperasi pada 1930. Ciri khas bangunannya, ada pada pintu masuk utamanya. Bentuknya mirip sebuah singgasana besar dengan atap lebar, yang dibarengi dengan bangunan utama menyerupai benteng. Sejak berdirinya, telah menjadi pusat perdagangan bagi masyarakat pribumi, China, dan Belanda.

Nama Hardjonegoro  diambil dari salah seorang anak bangsa keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT dari Keraton Surakarta. Boleh jadi, nama dan keberadaan Pasar Gede Hardjonegoro merupakan simbol keharmonisan kultur masyarakat Solo yang telah melekat di eranya hingga saat ini. Pasar Gede Solo memperoleh penghargaan sebagai Pasar Tradisional Terbaik di Jawa Tengah pada 2011. Pengelolanya mampu menata area secara rapi dan bersih. Ruangan lebar memberikan kenyamanan saat berbelanja dan tidak menimbulkan efek berdesakan, antara pembeli maupun penjual.

Pasar Gede Solo dikenal sebagai pusat kebutuhan pokok. Aneka sayur segar, bumbu dapur, daging hingga buah-buahan tersedia secara lengkap di sana. Aksesnya relatif mudah, karena dapat dilalui oleh banyak transportasi. Selain itu, Pasar Gede Solo populer  berkat aneka kuliner khas Solo seperti Nasi Liwet, Dawet Telasih, Timlo Sastro, dan Tahok. Tidak heran jika Pasar Gede Solo juga disebut sebagai destinasi wisata kuliner yang wajib dikunjungi.

Timlo Sastro  dapat ditemukan di belakang Pasar Gede, dekat tempat pembuangan sampah, sehingga bau sampah akan tercium ketika bersantap. Pak Sastro yang pertama kali mengenalkan timlo pada 1952. Timlo merupakan sejenis sup bening segar dengan isian aneka jeroan ayam, sosis solo, suwiran ayam, dan telur pindang. Timlo Sastro hanya buka dari pukul 06.30-15.30 WIB.

Saat ini Timlo Sastro dikelola oleh empat orang anak Pak Sastro, dan memiliki cabang di Jalan Dr Wahidin yang buka sampai malam. Semangkuk timlo komplet dengan nasi Rp 25.000. Nasi Liwet Bu Sri, yang kini dikelola anaknya. Citarasa khasnya berasal dari daun pisang.

Jangan lupakan areh, suwiran ayam kampung rebus, sayur labu, dan telur pindang yang membuat hidangan ini sangat seimbang dari segi rasa. Harga sepincuk nasi liwet Bu Sri Rp 9.000. Oh ya, lokasi Nasi Liwet Bu Sri berada di bagian luar Pasar Gede yang menjual buah. Ada di pojok dengan meja sederhana dan kursi plastik.


Tahok Pak Citro, tidak jauh tempatnya dari Nasi Liwet. Tahok adalah camilan khas China yang mengenyangkan. Bahannya dari dari sari kacang kedelai dan disantap dengan air jahe gula. Beberapa daerah menyebut tahok sebagai kembang tahu. Pak Citro berjualan tahok dari 1968, dan buka dari pukul 06.00 WIB dan biasa habis pukul 12.00 WIB. Satu mangkuk Rp 6.000.

Es Dawet Telasih Bu Dermi, salah satu tempat favorit Joko Widodo (sekarang Presiden). Mbak Uti adalah nama cucu Bu Dermi yang kini meneruskan usaha keluarga itu. Cobalah kesegaran es dawet telasih komplet yang terdiri atas ketan hitam, cendol, bubur sum sum, gula putih, dan tape ketan. Harganya Rp 9.000 per mangkuk. (*)

Sumber : idntimes, kompasiana, kompas.com
Foto : Wikipedia (Pasar Gede Hardjonagoro tahun 2005)
Disclaimer : Harga kuliner kemungkinan bisa berubah.
Auto Europe Car Rental