Strategi Melewati Random Check di Imigrasi Jepang (2)
Saat ini aku hanya ingin berbaring di kasur tantami, berselimut tebal, melepas penat setelah 7 jam duduk di ruang kursi 79 cm Air Asia.
Waktu tak pernah mengkhianati. Giliranku tiba jua. Bapak itu membuka pintu dan menunjukku, memberi isyarat untuk mengikutinya.
Aku bergegas berdiri mengikutinya dari belakang, berjalan menyusuri lorong. Suasana lorong sedikit temaram menambah horor suasana yang sudah horor.
Dia berbelok ke kiri kemudian ke kanan menuju ruangan agak kecil dari ruangan aku menunggu tadi. Ruangan ini sekitar 4x4 meter, hanya ada 1 lampu TL menerangi.
Sebuah meja dilengkapi 2 kursi berhadapan. Di atasnya ada alat elektronik berbentuk kotak. Aku perkirakan ini alat rekam pembicaraan kami nanti. Di pojok ruangan lemari besi arsip tua melengkapi.
Dia mempersilakanku duduk. Bapak itu menekan tombol angka di alat elektronik itu dengan tangan kanan. Tangan kirinya menutupi kode angka yang ditekan. Sepertinya dia tak ingin aku tau nomor yang di tekan.
Sejenak kemudian nada tuts terdengar dua kali. Di seberang sana terdengar suara wanita berbicara bahasa Jepang. Aku beringsut memperbaiki dudukku. Ini ternyata telepon meja dengan speaker.
Aku akan dikonfirmasi dengan pemilik hotel! Dag dig dug, hati ini. Kuyakinkan diri bahwa memang aku benar telah memesan kamar, dan bukan bohong.
Tapi jika semua hotel diconfirm, mati aku. Di Kawaguchi aku belom memesan hostel, tapi nama hostelnya sudah aku cantumkan di itin. Mereka berbicara sejenak, kemudian wanita itu berbicara bahasa Indonesia dengan logat Jepang padaku.
Oalaaaaah… translator toh. Aku sangka bapak ini jago beringgris ria, ternyata dia butuh translator untuk interogasi ini. Hatiku sedikit tenang, karena bahasa Inggrisku apa adanya juga. Dan ketakutan akan konfirmasi ke pihak hotel tidak terjadi.
“Apa pekerjaanmu?... suara wanita di seberang itu bertanya.
“Aku Graphic Designer,” jawabku cepat…
Wanita itu menerangkan jawabanku dengan bahasa Jepang dengan introgator, menjelaskan jawabanku, begitu seterusnya.
“Berapa gajimu?Busyet! Nanya gaji! Bayaranku sebagai graphic designer naik turun dan tak tepat disebut gaji, sepersekian detik otakku menakar nakar angka yang bisa diterima dan masuk akal, 5 juta? 7, atau 10?
“10 juta! Jawabku cepat…
Bapak itu menulis di kertas jawabanku setelah diterangkan wanita yang entah di ruangan mana dia berada. Tulisan kanji aku tak bisa mengerti. Mereka kembali bercakap bahasa Jepang sepertinya sebuah pertanyaan dari bapak itu.
“Ke Jepang mau kemana saja?....
“Ke Osaka, Kyoto, Kawaguchi, terakhir Tokyo” jawabku mantap.
“Di Jepang berapa hari dan tinggal dimana?...
“Saya Sembilan hari, di Osaka 2 malam, di Kyoto 2 malam, di Kawaguchi 1 malam, di Tokyo 4 malam. Saya tinggal di hostel” jawabku
“Sudah pesan hotel?...
“Di Osaka sudah saya bayar, di Kyoto sudah pesan tapi belum bayar karena bayar ditempat, Kawaguchi juga belum bayar, tapi di Tokyo sudah.”
Aku memang sengaja tidak membayar semua hostel yang aku pesan, mengantisipasi kerugian jika saja saya nanti ditolak masuk.
“Di Osaka mau kemana saja?... lanjutnya
“Mau ke Universal Studio”…
“Ngapain ke US?.. lanjutnya.
“Hhmm… mau foto di bola dunia US,” jawabku sekenanya.
Ke US tidak ada dalam rencanaku, tapi hanya itu jawaban cepat yang aku ketahui. “Aku koleksi foto-foto US. Tahun lalu aku ke US Singapore.”
Aku berharap bisa meyakinkan mereka. Wanita itu menerangkan jawabanku kepada bapak itu. Mereka berbincang sejenak, jeda translate ini, jeda beberapa detik aku gunakan untuk mereka-reka jawaban selanjutnya jika di kejar.
Dan benar saja pertanyaan selanjutnya bikin pucat.
“Coba lihat foto-foto kamu di US Singapore?....
“Oh ya sebentar, aku meraih handphoneku, membuka gdrive. Untungnya foto-foto selpih tersimpan otomatis di gdrive. Aku mengaturnya demikian.
Sial! Ruangan ini tak terjangkau sinyal, HP-ku gagal terkoneksi internet dan gdrive tak bisa menampilkan foto foto yg diminta. Aku mencoba sekali kali, mencoba cepat, tapi sinyal tak mau membantu.
Bapak itu memperhatikan, “Disini tak ada sinyal aku tak bisa membuka foto di drive.” Aku berbicara pada wanita di seberang sana, sembari memperlihatkan layar HP-ku pada bapak di depanku.
Dia mencatat sesuatu di kertas, sial..sial.. ini satu catatan kesalahan pikirku liar. Mereka kembali berbicara berdua..
“Ke Kyoto mau kemana?... kembali terdengar pertanyaan dari seberang.
“ke Gion” jawabku cepat.
“ke Gion mau ngapain”
“Mau selpih sama Geisya,” jawabku sambil cengegesan. Bapak itu mencatat sambil geleng kepala.
Sepertinya jawabanku kurang meyakinkan, tapi aku hanya mencoba jujur dan tidak mau terjerat dengan jawaban yang njelimet. Jawaban yang nantinya memunculkan pertanyaan yang bisa menempatkan aku di kesulitan. Aku berharap ini cepat berakhir....(sumber : WAG)