Mengenal Ampo dari Tuban, Camilan Khas dari Tanah Liat Hitam
Sesekali dia meraih palu di sampingnya untuk memukul tanah liat hitam itu agar bentuknya rata, tak bergelombang. Ibu empat anak ini adalah pembuat makanan bernama ampo, yang merupakan usaha keluarga turun temurun.
"Saya ini generasi kelima. Usaha keluarga ini sudah ada sejak zaman Belanda. Ibu saya sekarang lebih banyak istirahat di rumah," ujar Sarpik, perempuan 40 tahun, yang tinggal di Dusun Trowulan, Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding.
Sang ibu, Rasimah (70) memang sudah tidak ikut campur tangan. Sarpik kini menjadi generasi yang harus melestarikan peninggalannya. Sebuah olahan kuliner yang tidak biasa. Ampo bersaing dengan camilan yang mudah ditemui di pasaran.
Toh, semangat Sarpik tidak surut. "Sedikit banyak tentu membantu, karena suami bekerja sebagai tukang bangunan. Ampo adalah peninggalan keluarga, harus dilestarikan. Anak saya sudah bisa membuat," ujarnya.
Dalam sehari, Sarpik mampu memproduksi 8-12 kg ampo. Harganya relatif terjangkau, Rp 10 per kg. Ampo buatannya menjadi oleh-oleh wisatawan yang tertarik atau penasaran akan rasanya, baik wisatawan luar kota, pulau, atau bahkan luar negeri.
Pilihan WaniMbambung
- Blue Bottle Coffee Unveils First Southeast Asian Outlet At Lumine Singapore
- Amara Singapore Announces Second Edition of “Local Legends” in Collaboration with Chef Damian D’Silva from 2 to 17 April 2025
- DailyCo Adakan Bazar Kuliner di Jakarta Premium Outlets
- Siropen Leo Sirup Legendaris dari Kota Malang
Konon, selain rasa dan bentuk yang khas, ampo punya manfaat bagi kesehatan. Camilan ini mampu melancarkan pencernaan, mengobati panas dalam dan gatal-gatal. Untuk panas dalam, rendam dengan air biasa di gelas, setelah ampo hancur, minum airnya.
Sedangkan untuk obat gatal-gatal, tanah liat yang belum terbentuk ampo bisa direndam dengan air, setelah tanah hancur baru airnya dipakai mandi. "Ini sudah banyak yang membuktikan alias teruji," terang Sarpik.
Untuk membuat ampo, Sarpik menyerut tanah liat dengan seseh (bambu tipis) hingga terbentuk persegi empat memanjang, semacam kue Astor berukuran kecil. Ada alat bantu palu dari kayu untuk menyesuaikan ukurannya. Sesekali dibasahi air.
Bahannya tidak sembarangan. Sarpik menggunakan tanah liat hitam. Hasil serutan dijemur 30 menit sebelum dimasak di tungku dengan menggunakan bara api selama 30 menit, hingga matang dan siap dimakan. Ciri matangnya, ampo berwarna cokelat kehitaman usai terkena pengasapan.
"Nggak asal pakai tanah liat, dan prosesnya bertahap. Saya nggak pakai bahan campuran lainnya. Jadi, ini murni hanya dari tanah liat," ujar Sarpik sambil menunjukkan ampo yang siap makan di dapur rumahnya. Biasanya, lebih nikmat kalau tersaji bersama kopi atau teh manis. (*)