Busana Jawa di Jogja dan Geisha di Distrik Gion Kyoto
BERJALAN di seputaran Kepatihan, dekat perkantoran Provinsi DI Yogyakarta, Malioboro atau dari depan tulisan Jl Malioboro tak jauh dari Stasiun Tugu, sejumlah orang mengenakan atribut busana tradisional Jawa. Blangkon, beskap, kebaya, jarik, keris di pinggang dan selop.
Biasanya mereka sarimbit atau mengenakan busana Jawa secara berpasangan, pria dan wanita. Kadang bersama ananda tercinta. Mereka bergaya bak model di depan fotografer yang mengabadikannya.
Pemandangan sama dapat dijumpai ketika berkunjung ke Museum Sonobudoyo, dekat Alun-alun Utara. Ada penyewaan busana tradisional Jawa, dan bisa berfoto bersama, dengan aneka macam gaya selama berada di kawasan museum itu.
Mengenakan busana tradisional Jawa ini menjadi bagian atraksi pariwisata Jogja. Ini mengingatakan pengalaman seorang teman yang beberapa tahun silam, mengunjungi Distrik Gion, Kyoto, Provinsi Yamashiro, Jepang. Kota Kyoto dikenal sebagai kota dengan pelestarian budaya yang tinggi.
Di sekitar pusat Kota Kyoto, banyak ditemui jasa persewaan kimono atau yukata sehingga wisatawan dapat merasakan menjadi orang Jepang, dengan berjalan-jalan menggunakan pakaian tradisional Jepang. Sama seperti pengunjung dengan busana Jawa dan berjalan-jalan di Maliboro.
Sayangnya, menurut informasi teman itu, tidak semua tempat persewaan mengizinkan penggunaan kimono untuk dibawa keluar studio. Sewa kimono hanya untuk foto studio saja karena kimono terbuat dari kain sutera dengan bordir rumit sehingga dikhawatirkan rusak jika tidak digunakan secara hati-hati.
Kalau di Jogja, busana Jawa sebagai pelestari Kraton Yogyakarta Hadiningrat, maka kimono atau yukata ini bagian dari sejarah geisha, salah satu simbol yang melekat pada negara Jepang.
Geisha adalah artis pertunjukan wanita Jepang yang secara tradisional disewa untuk menjamu tamu di kedai teh atau acara sosial. Penampilannya sangat ikonik, lengkap dengan riasan yang rumit, gaya rambut, kimono dan banyak lainnya.
Pilihan WaniMbambung
- Dari Piksel ke Petualangan Nyata: Jelajahi Selandia Baru di Minecraft dan Kunjungi Secara Langsung
- Marina Bay Sands Tawarkan Pengalaman Skypark dan Pameran Baru
- Ini 5 Ide Seru Menunggu Waktu Buka Puasa ala Pokémon GO: Mulai Takjil Hunting hingga Mabar
- The Flying Cloth, Perjalanan Merdi Sihombing Menyatukan Tradisi dan Masa Depan
Bukan hanya kimono, ciri khas geisha lainnya adalah wajah yang ditutupi oleh bedak putih bercampur air dan untuk geisha magang (maiko) mengenakan tatanan rambut khusus yang menyerupai bunga persik atau disebut dengan Momoware.
Penggunaan kimono dan make up ini membutuhkan waktu sekitar 2 jam, sehingga seorang geisha membutuhkan sekitar 2 asisten pribadi untuk membantunya menggunakan seluruh atribut. Awalnya, wajah Tamara Yuanita diberi bedak putih cair, kemudian di bagian alis dan ujung mata diberi warna kemerahan.
Lalu bibir diberi lipstick warna merah. Tidak seluruh bibir saya diberi warna merah, hanya bibir bagian atas dan setengah bibir bawah saja yang diwarna merah. "Setelah make up beres, kemudian saya menggunakan kimono," paparnya.
Kalau sekadar berdandan seperti geisha cukup mudah tapi akan sedikit sulit bila ingin mendapatkan layanan geisha yang kini masih eksis. Ada layanan geiko (sebutan geisha di Kyoto) di sekitar Jalan Shijo, antara Kuil Yasaka di timur dan Sungai Kamo di barat.Layanan geiko itu eksklusif. Biasanya membutuhkan pengenalan dari pelanggan yang sudah ada. Apalagi ada aturan tidak bisa berfoto dengan geiko, tidak boleh menyentuh atau menepuk pundaknya. Para geiko menyajikan minuman, terlibat obrolan ringan, hingga menampilkan tarian tradisional.
Geisha tidak berkonotasi negatif. Mereka justru memperlihatkan sebagai perempuan dengan talenta tinggi. Mereka adalah wanita berbakat dalam seni sekaligus menggairahkan perjamuan. Informasinya, ada beberapa agen perjalanan dan hotel di Jepang, menawarkan paket makan siang atau makan malam dengan geiko.
Kota Jogja sangat mungkin meniru konsep layanan geisha di Distrik Gion, Kyoto, menyodorkan resto, kafe, atau tempat lain, dengan layanan para perempuan berbusana Jawa laiknya putri kraton. Jadi, tidak sekadar menyewakan busana tradisional saja. (*)