Cerita Wisata Ngeri di Phnom Penh Kamboja
INILAH cerita wisata ngeri di Phnom Penh Kamboja. Tapi sebelumnya, si penulis cerita ini memberikan disclaimer: tulisan ini tidak untuk konsumsi yang memiliki penyakit jantung, darah tinggi, maupun ayan. takut kumat, plus jangan baca saat sedang menyantap makan malam yaa..
Apa yang ada di benak kita saat menyebut Phnom Penh? Belum ada ide? Gimana kalau Genocide? Belum juga? Kalau Polpot? Hmm? Khmer Merah? Jika sama sekali belum ada ide dari petunjuk yang diberikan saya akan berbagi sedikit mengenai Wisata Ngeri di Phnom Penh.
Kamboja, memiliki sisi berbeda pada setiap kotanya, terkenal karena film Tom Raider yang mengambil adegan di salah satu cagar budaya Angkor Wat membuat wisatawan mulai melirik mengunjunginya, terlebih maskapai berbiaya rendah mulai membuka rute kesana.
Tapi bagi sebagian orang, mungkin Phnom Penh belum terlalu menarik perhatian, padahal sejarah kelam dari Negara ini dapat dikulik saat kita mengunjungi beberapa tempat "ngeri" di kota ini.
Adalah Genocide yang secara harfiah diartikan pelenyapan suatu generasi atau golongan tertentu, caranya tentu jangan dibayangkan karena pasti ngeri, inilah yang akan coba saya ceritakan untuk rekan-rekan semua.
Perjalanan ke Phnom Penh merupakan salah satu keisengan saya, kala itu saya pergi bersama ibu dan beberapa rekan kantor, entah kenapa ingin mengunjungi tempat ini, saya hanya tahu bahwa sejarah Khmer Merah maupun Polpot secara sekelebat lalu, tapi setelah sampai di sana.
Imajinasi saya terlalu liar sehingga bergidik ngeri saat saya memandang gambar-gambar maupun apa yang disajikan di tempat yang saya kunjungi.
Tuol Sleng Genocide Museum (Museum Genosida Tuol Sleng), dulunya adalah sebuah sekolah yang disulap menjadi sebuah penjara atau disebut S21. Apa yang dilakukan pada tempat itu? Coba sekarang siapkan diri anda, duduk relax dan setting bahwa anda kembali ke tahun 1970 an. Sudah terbayang?
Tempat ini adalah suatu tempat penyiksaan bagi orang-orang yang dianggap tidak sejalan dengan Pol Pot, tepatnya pengikut rezim Lon Nol. Terdiri atas tiga lantai yang keseluruhan lantainya memiliki fungsi masing-masing.
Adalah lantai pertama, ruangan kelas digunakan sebagai ruang penyiksaan awal, mengumpulkan informasi dari para tahanan, entah anggota militer, masyarakat umum, cendekiawan, dokter, pokoknya semua orang dianggap bersalah dan pantas disiksa.
Cara siksa nya? Ada ranjang paku, ada kursi listrik, bahkan saya masih menemukan noda darah dan bau anyir yang tertinggal pada ruangan tersebut.
Ada tulisan peraturan di S21, salah satunya, jika kamu menangis, maka hukumanmu akan ditambah - jika kamu menyembunyikan informasi, maka hukumanmu akan ditambah (yang dalam hal ini, para korban adalah masyarakat biasa yang tidak tahu apa-apa)
Pada ruangan lain juga terpampang bagaimana tahanan tersebut di eksekusi, mereka diberikan nomor, dan diabadikan! iya-satu persatu!
Kurang kejam? Ada juga ilustrasi untuk penyiksaan lainnya, mulai dari pencepit kuku untuk dicabutin satu satu, leher yang dirantai dan ditenggelamkan ke dalam air, ada juga di ceritakan, bahwa ada alat bor terpaut pada kursi, dengan gambar seorang wanita yang sedang memegang anak.
Dia dieksekusi dengan glek, mengebor kepala wanita tersebut sambil ia masih menggendong anaknya. Cerita lain menyebutkan bahwa wanita tersebut sudah meninggal karena disiksa, hanya saja untuk alasan dokumentasi, kepalanya di bor agar dia bisa duduk tegak dan bayinya diletakkan pangkuannya.
Apapun versinya, kekejaman Pol Pot sangat terasa, saya hanya berharap yang terbaik buat anak kecil yang digendongnya. Melangkah ke lantai dua dan lantai tiga, diceritakan bahwa satu ruangan kelas digunakan untuk tempat tidur para tahanan.
Mereka tidur layaknya pindang, berjajar kepala ketemu kaki, dengan nomor di dinding, satu ruangan mungkin bisa diisi 100 orang lebih. Ada juga sekat-sekat dibuat penjara, yang hanya seukuran satu orang, membayangkannya saja saya sulit..
Aura di ruangan kelas ini gelap, pekat dan terkadang membuat saya mual, saya sensitif dengan keberadaan mereka, di satu titik saya sempat berhenti dan menahan air mata, karena mendadak bayangan masa lalu itu muncul dalam cinematik adegan di kepala saya, sedih, sedih sekali.
Tidak kuat dengan siksaan yang diterima? Setiap orang pasti memilih bunuh diri! Tapi di tempat ini untuk bunuh diri saja masih butuh perjuangan! Kenapa? Dinding pembatas di luar ruangan diberi lilitan anyaman kawat berduri.Itulah Khmer Rogue memiliki cara agar para tahanan tidak bisa mengakhiri hidupnya tanpa penyiksaan. Bahkan memilih mengakhiri hidup sendiri pun masih harus diatur orang.
Imajinasi saya mulai memvisualisasikan gambar yang saya lihat, dengan bayangan kejadian penyiksaan di masa itu, asli, saya bergidik ngeri dan memutuskan untuk tidak terlalu lama berada di tempat ini, udara terlalu pengap dan nuansanya mengusik hati ini.
Setelah berdoa secukupnya, kami melanjutkan perjalanan ke Killing Fields yang berjarak 30 menit menggunakan oto. Sesampainya di sana, saya memutuskan untuk menyewa peralatan audio yang menceritakan titik demi titik masyarakat Kamboja yang kala itu menjemput ajal mereka.
Satu per satu titik saya dengarkan, ada tempat dimana truk pembawa para tahanan itu berhenti, mereka dijanjikan akan diberikan kehidupan yang lebih baik, tetapi siapa yang tahu, bahwa ini adalah hari terakhir mereka bernafas.
Dalam cerita disebutkan bahwa saat perjalanan mata mereka ditutup, kalau ada yang bersuara mereka akan disetrum, perjalanan di tengah kesunyian malam hanya terdengar deru mobil truk pengangkut dan nasib tanpa kepastian. Pilu.
Maju ke titik selanjutnya, saya dihadapkan pada sebuah titik dan lubang, dimana mereka di eksekusi. Saat itu harga peluru mahal, jadi jangan bayangkan kematian yang cepat selesai, mereka dieksekusi dengan ujung bayonet, cangkul, sekop yang diayunkan serta diremukkan ke kepala masing-masing.
Lanjut ke titik selanjutnya, di sana ada beberapa makam massal, dimana ditemukan beratus-ratus nyawa pada satu lubang, saya pun masih menemukan baju-baju yang menyembul dari dalam tanah, diceritakan saat musim hujan, baju tersebut kadang terkikis air dan muncul ke permukaan.
Lanjut ke berikutnya, inilah titik dimana saya hanya bisa membatin ngeri di dalam hati, bayangkan disana terdapat sebuah pohon besar, cukup kokoh dan kuat.
Narator mulai bercerita di telinga saya: ... di sini adalah tempat mengeksekusi bayi, maupun anak-anak kecil ...kaki bayi-bayi malang tersebut dipegang, dengan kepala menghadap ke bawah, dengan satu kali ayunan dibenturkan ke dahan pohon tersebut agar tangisan mereka mereda......
Di sini perasaan saya benar-benar campur aduk. Tidak hanya dengan cara itu, bayi-bayi tersebut terkadang dilempar ke atas, baru dibenturkan ke dahan. Saya melangkah ke tempat selanjutnya, saya tidak kuat mendengar cerita di titik itu.
Ada sebuah pohon lagi, disini adalah tempat memasang speaker, diputarkan lagu-lagu Kamboja yang bercampur dengan suara genset, suaranya yang bising berguna untuk meredam teriakan-teriakan yang mengerikan di malam terakhir mereka..
Saya berjalan lagi, hingga sampai pada sebuah danau kecil, audio sewaan menampilkan musik indah di telinga saya, rute danau tersebut sengaja dibuat, agar kita bisa sedikit menenangkan diri, sembari mereka ulang cuplikan cuplikan yang kita imajinasikan.
Lagu ini sebenarnya sebuah gubahan, bahwa Kamboja harus bangkit setelah kejadian seperti ini. Saya suka dengan lagu tersebut, cukup dapat menentramkan hati dan perasaan yang naik turun barusan.Cerita dalam bagian ini mengisahkan: Mengapa sampai Orang Kamboja membunuh sesama orang Kamboja? Saya menuju pintu keluar. Di sana terdapat monumen penghormatan kepada jasad yang telah meninggal, dibangun sebuah etalase yang menjulang ke atas berisi tengkorak kepala yang telah diklasifikasikan, pria wanita, anak dewasa, dan bagaimana cara mereka meninggal.
Semoga para arwah tersebut, diberikan tempat terbaik. Dari sini saya belajar, bahwa perang itu sama sekali tidak menyenangkan, saya membayangkan kejadian genoside di zaman 1965, di mana sebenarnya yang dibantai adalah masyarakat kita sendiri, mencoba mengadu domba masyarakat kita sendiri, sehingga itu tadi, sesama bangsa sendiri saling membunuh
(Maaf, saya lebih percaya bahwa ada sejarah kita yang ditutupi dan dirombak)
Yaa, saya percaya bahwa masyarakat kita, sudah mengalami Genoside seperti yang masyarakat Kamboja alami, hanya tidak terdokumentasikan, sehingga kita tidak bisa bergidik ngeri apabila bangsa ini mengalami hal yang sama, lagi.
Jadi, tetaplah mencintai sesamamu manusia, karena tidak ada kebencian yang berakhir bahagia. (Victorio Catra Primantara)