Menikmati Pulau Kenawa dan Derasnya Air Terjun Mangku Sakti
Kecy, panggilan akrab Irma Charus, bercerita kepada saya tentang pengalamannya selama di Pulau Kenawa. Awalnya, dari berselancar di media sosial, Kecy tak sengaja membuka Instagram temannya. Kecy melihat salah satu tempat wisata yang menarik baginya di daerah Lombok Nusa Tenggara Barat NTB).
Dia terpikat dan ingin dapat berkunjung ke tempat itu. Apalagi, belum banyak yang tahu tentang Pulau Kenawa. Bersama empat temannya, Vita, Yasmin, Ocil, Nabil, dia merencanakan agenda liburan ke sana. Namun rencana itu butuh restu orangtua yang tak mudah. Bahkan, Kecy perlu waktu satu bulan untuk meyakinkan orang tuanya.
Sang ibu khawatir, apalagi Kecy selalu liburan dan terkesan enggan menyelesaikan kuliah. Akhirnya, restu itu turun, dan Kecy memutuskan berangkat pada Juni 2015, dengan gaya backpaker. Kecy dan teman-temannya hanya membawa sedikit perbekalan. Mereka berangkat dari Surabaya menggunakan pesawat pukul 17.00 WIB dan sampai di Lombok pukul 19.00 WITA. Tiba sana, Kecy tak langsung menuju tempat wisata.
Mereka kelelahan dan akhirnya memutuskan menginap semalam di sebuah rumah singgah yang memang mengkhusukan bagi para pengunjung yang berkantong cekak sepertinya. Baru, esok harinya berangkat. Sebelum berangkat mereka diwanti-wanti Mamak (pemilik rumah singgah) agar hati-hati ketika naik angkutan umum menuju Pelabuhan Kayangan. Mamak menitipkan mereka kepada supir taksi yang membawanya ke sana agar tak diturunkan pada tempat yang tidak aman.
Benar saja, begitu Kecy dan teman-temannya mendekati Terminal Mandalika, banyak sopir angkutan umum (berbentuk minibus), sedikit memaksa calon penumpang untuk naik angkutan mereka. Sedikit takut apalgi tempatnya juga gelap.
Angin semilir dan ombaknya sangat tenang. Tiba di Pelabuhan Poto Tano, perjalanan berlanjut dengan feri lagi, dengan harga Rp 300.000 selama 45 menit. Kecy sudah tampak kelelahan, keringat dingin keluar dari tubuhnya. Nabil, salah satu teman, menyarankan Kecy agar tidak ke anjungan kapal. Ternyata tak hanya Kecy yang merasa tak sehat. Ada dua teman perempuan lagi yang merasa bosan dengan pemandangan laut.
Mereka ingin segera sampai. Akhirnya, kesabaran mereka terbayarkan. Dari jauh, terlihat Pulau Kenawa, pulau yang memiliki geografis berupa padang savana dan sebuah bukit yang menonjol di tengah-tengah pulau.
Selama tiga hari dua malam Kecy dan teman-temannya menghabiskan dan memuaskan diri di pulau itu. Banyak cerita unik selama mereka nge-camp di sana. Masalah pertama yang dihadapi, tiga perempuan ini adalah memasang tenda.
Mereka tidak ada latar belakang pecinta alam, jadi butuh waktu lama bagi Kecy dan teman-teman memasang tenda hingga berdiri kokoh. Tapi, beruntunglah, ada satu orang laki-laki yang juga merupakan mahasiswa aktif kegiatan pecinta alam.
Hari pertama, mereka lalui dengan perbekalan makanan yang sudah basi. Saat itu, makanan sudah dingin, bawa sosis, nugget tapi tidak tahu kalau di Pulau Kenawa panas sekali. Mau tidak mau dimakan meski sedikit basi.
Setelah ‘terpaksa’ memakan perbekalan yang sudah tak layak makan, masalah lain yang harus mereka hadapi seperti gelap, panas, dan lembabnya suhu udara. Kecy mau tidak mau harus terbiasa. Hampir setiap malam terasa menyeramkan. Ada suara kucing padahal saat itu di pantai.
Ketika pagi mulai menyapa, Kecy tergoda untuk bersnorkling karena melihat indah dan jernihnya air laut, selama 15 menit dia bersnorkling, menikmati karang dan ikan-ikan kecil. Suasana pantai sepi serasa punya sendiri.
Hari kedua hari terakhir, mereka sudah mulai terbiasa dengan suasana Kenawa. Bahkan, selama tiga hari itu tidak mandi, untuk buang air, tidak ada tempat tertutup. Tidak apa-apa buang air saja di semak-semak.
Puas menginap dan berfoto di Pulau Kenawa, mereka melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Mangku Sakti. Perjalanan mereka lalui selama tiga jam dari hotel tempat menginap di Mataram. Air Terjun Mangku Sakti menurutnya merupakan hilir dari mata air di kaki Gunung Rinjani.
Airnya sangat jernih dan bau belerang sangat menyengat tapi tidak menghalangi Kecy untuk nyemplung. Perjalanan melewati bebatuan yang tidak mudah bagi mereka yang mayoritas merupakan perempuan ini.
Dari air terjun, berlanjut ke Bukit Pegasingan, perjalanan mereka tempuh selama satu jam dengan jalan berliku, berbatu. Salah satu teman perempuan bahkan mengendarai motor sendiri. Begitu sampai di lokasi perjalanan harus berjalan kaki.
Jalan setapak menanjak, berbatu hingga kaki teman Kecy lecet bahkan hampir menangis. Perjalanan terbayarkan ketika sampai di atas bukit, dapat langsung melihat Gunung Rinjani dan melihat ke bawah, hamparan persawahan yang terkotak-kotak bentuknya.
Di bukit setinggi 1900 mdpl itu, mereka puaskan berfoto. Tapi tak berlama-lama karena senja sudah mulai menyapa akhirnya Kecy dkk memutuskan pulang. Perjalanan pulang lebih mudah karena berupa turunan, sesampainya di bawah perut keroncongan.
Bingung dengan makanan khas Lombok, mereka mencari referensi di internet. Diputuskanlah, mencoba makan Sate Rembige, sate yang terbuat dari daging sapi dibakar di atas arang yang membara hingga kecokelatan kemudian disiram dengan kuah kacang sampai kuah kacang meresap.
Sate Rembige disantap beramai-ramai dengan nasi hangat dan juga bisa dengan bebalungan (tulang sapi), terasa nikmat untuk mereka yang kelelahan berjalan. (fitra herdian a).