Syuting Perempuan Tiongkok dan Berdesakan di Kampung Pecinan Semarang
Berangkat dari Surabaya naik sebuah mobil rental, kami melewati jalur Pantura menuju Kota Semaarang. Dimulai dari Surabaya, Gresik Tuban, Lasem, Rembang, Juana, Pati, Kudus, Demak, dan sampailah di ibukota Jawa Tengah .
Total perjalanan memakan waktu sekitar tujuh jam, tanpa macet yang berarti. Kebetulan, kami berangkat malam hari pada weekdays bulan Juni, 2016 lalu. Tak heran, jalanan yang didominasi pemandangan pantai, tidak terlalu macet.
Kami istirahat di sebuah penginapan tak jauh dari pusat kota. Keesokan harinya kami mengelilingi Kota Semarang untuk mencari data kebudayaan Tiongkok. Kami juga meninjau beberapa lokasi yang kami butuhkan untuk dijadikan setting pembuatan film, di antaranya: Kampung Pecinan, Klenteng Tay Kak Sie, serta Kota Lama Semarang.
Kampung Pecinan berada di Gang Warung. Dari pusat kota, kami menuju Jalan Gajah Mada arah Pasar Johar. Kami mengikuti jalan, lalu belok kanan dekat lampu merah ketiga. Tibalah kami di depan gerbang pecinan yang yang dihiasi lampion dan tulisan-tulisan mandarin. Usai memarkir mobil, kami menyusuri kampung pecinan pagi itu dengan berjalan kaki.
Kampung Pecinan dipenuhi pertokoan yang berjajar rapi di kanan-kiri jalan. Sebagian besar pemiliknya adalah warga keturunan Tionghoa. Terdapat toko-toko teksil, alat elektronik, pernak-pernik imlek, serta berbagai kebutuhan sembayang pemeluk Konghucu. Suasana Kampung Pecinan di siang hari sangatlah ramai. Bahkan, kami sempat berdesakan di sekitar gerbang masuk.
Sejarah Kampung Pecinan begitu termashur sejak Belanda berkuasa. Dulu, keturunan Tionghoa di Gedong Batu sering melakukan pemberontakan kepada Belanda, sehingga mereka dipindahkan ke lokasi Pecinan sekarang. Tujuannya agar lebih mudah diawasi karena dekat dengan pos militer Belanda.
Usai berjalan-jalan santai di sekitar gang Pecinan, kami sampai di depan Kelenteng Tay Kak Sie. Sebuah klenteng induk bagi seluruh klenteng di Semarang yang terletak di gang Lombok, Pecinan.
Kelenteng ini juga menjadi simbol heroisme keturunan Tioghoa dalam melawan penjajahan Belanda. Bangunannya megah dan memiliki dewa paling lengkap. Hal ini membuat kami tertarik menjadikannya lokasi syuting.
Sayang, replika kapal Laksamana Cheng Ho yang dulunya berdiri di atas Kali Semarang telah dibongkar tahun 2014 lalu. Sungai di seberang Kelenteng Tay Kak Sie tersebut rawan banjir sehingga bangunan monumental Cheng Ho terpaksa dikeluarkan.
Padahal, spot itu cukup menarik untuk diabadikan dalam kamera. Alhasil, saya hanya bisa mendengar sejarah laksamana muslim keturunan Tionghoa tersebut sambil melihat patungnya yang berada di halaman Tay Kak Sie.
Nuansa Chinese begitu kental di klenteng Tay Kak Sie. Ornamen-ornamen Cina ditunjukkan oleh motif bunga dan naga pada dinding, serta warna bangunan yang didominasi warna merah.
Atapnya juga dihiasi lampion merah yang digantung tinggi. Begitu masuk ke dalam, aroma hio dan dupa tercium bergitu menyengat. Lilin-lilin menyala dan terlihat sejumlah orang melakukan ritual sembahyang.
Suasananya kian hening. Iringan lagu mandarin hanya terdengar sayup-sayup. Usai mengabadikan suasana klenteng dari dalam, kami bercengkerama langsung dengan pengelola Tay Kak Sie.
Kegiatan hari itu kami lakukan agar lebih mendalami budaya Tionghoa yang kami angkat dalam bentuk film. Kami diajak menyantap makan siang di sebuah foodcourt dekat klenteng.
Kami juga tidak perlu khawatir, karena foodcourt tersebut menjamin makanan halal bagi pengunjung muslim. Kebetulan, pada saat bertepatan hari Jumat, sehingga kami bisa mengunjungi Warung Semawis di gang Pecinan.
Pasar malam yang dulunya hanya dibuka menjelang imlek tersebut, kini hadir setiap Jum’at, Sabtu, dan Minggu di salah satu ruas gang Pecinan. Letaknya tak jauh dari Kelenteng Tay Kak Sie. Kami tinggal berjalan kaki dan menyusuri stand-stand penjualan di kana-kiri gang.
Pasar mingguan ini buka mulai pukul 6 sore hingga tengah malam. Lebih dikenal sebagai destinasi kuliner Semarang karena mayoritas penjual menjajakan makanan dan minuman. Menu makanan yang ditawarkan beragam, mulai dari makanan khas Cina hingga menu asli nusantara. Namun, di sana juga terdapat stand-stand penjualan pakaian, aksesori, dll.
Sebagai oleh-oleh, kami berburu lumpia yang menjadi ikon kuliner Semarang. Banyak pilihan ukuran dan rasa yang ditawarkan, sehingga kami semakin puas. (riris aditia)