Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tiga Generasi Depot Sari, Tetap Pertahankan Bumbu Asli

BIASANYA usaha yang dilanjutkan generasi ketiga mengalami surut dibanding generasi pertama dan kedua. Tapi bagi pemilik Depot Sari, tidak ada kata menyerah untuk meneruskan warisan kakek dan ayahnya.

Inilah salah satu depot makanan legendari, yang sederhana di pojok antara Jl Karet dengan Jl Kembang Jepun, Surabaya. Bagi yang tidak biasa atau bukan langganan, cukup sulit  menemukan tempat kuliner ini.

Depot Sari berada di pojok antara Jl Karet dan Jl Kembang Jepun, membuat orang lebih memperhatikan mencari jalur antara ke kiri untuk naik ke Jembatan Merah menuju Jl Veteran atau belok kanan masuk Jl Kembang Jepun.

Kalau diniati mencari, posisi depot tepat di pojok antara kedua jalan, akhirnya bisa ketemu. Bila sudah kebablasan masuk Jl Kembang Jepun, parkir di depan depot saja, yang menghadap jalan.

Ada teras sekaligus jalan masuk ke depot di bagian pojok,  tertutup bangunan kuno yang mangkrak ketika itu. Di parkiran sisi Jl Karet, sering penuh mobil sehingga tulisan Depot Sari terhalang.

Atau  bisa juga karena adanya kegiatan keluar masuk mobil parkir yang membuat orang baru kurang melihat keberadaan depot. Begitulah, setelah saya masuk depot, seorang pria setengah baya langsung menghampiri.

"Mau makan dan minum apa, ini menunya," ujarnya ramah. Belum sempat mengamati depot, sudah ditawari menu. Cukup kaget, tapi tidak masalah. "Tak bacanya dulu menunya," jawab saya.

Ukurannya Depot Sari tidak terlalu besar, tetap kecil, bahkan cenderung sesak bila penuh. Untungnya, hanya terlihat dua tiga orang yang sedang makan siang itu. Tapi di balik dapur, terlihat aktivitas menata makanan yang tiada henti.

Ornamen lama tampak di depot yang memang terlihat sebagai bangunan lama. Ada logo buaya di salah satu dinding bagian atas sementara di bagian dinding lainnya, penuh foto-foto, yang diduga adalah pemilik dan para tamunya. Tamunya ada pejabat dan artis.

"Ini depot terkenal lho. Sudah tiga generasi," kata Freddy H Istanto, Direktoer Sjarikat Poesaka Soerabaia atau Surabaya Heritage Society, yang menemani saya di depot itu.

Membaca menunya yang cukup beragam membuat waktu memilih lebih panjang. Apalagi, membaca harga per porsinya, yang berkisar antara Rp 36.000 hingga Rp 45.000 per porsi (semoga belum berubah).

Ada rawon, sop buntut, sop ayam, sop sum-sum, buntut goreng, rawob merah, rawon buntut, bakmoy udang. Hmm.. cukup mahal untuk ukuran depot. Hampir bersaing dengan harga menu di restoran hotel berbintang atau di mal menengah ke atas.

Melihat saya kebingungan, seorang pria setengah baya berkacamata, berbeda dengan yang memberi daftar menu tadi, datang mendekat. Setelah bersalaman, pria yang mengenalkan diri sebagai Hanny Hartono ini langsung membantu saya memilih menu.

"Coba menu sopo buntut atau rawon merah saya. Pasti ditanggung tidak kecewa," kata Pak Hanny yang membuat saya akhirnya memilih menu rawon merah.

Hahahah, sebetulnya, hanya penasaran saja dengan rawon merah. Setahu saya rawon di Surabaya dan Jawa Timur, itu ya hitam, karena pakai bahan bunbu kluwak. Ada sih, yang Rawon Putih Mak Rawon di Sukodono, Sidoarjo.

Tapi ini, merah. "Pakai bumbu apa kok merah," tanya saya kepada Pak Hanny secara spontan. Dengan semangatnya, pria yang mengaku baru memegang kendali Depot Sari di tahun 1991 ini, menjelaskan bila dirinya menggunakan bumbu lombok merah.

"Pakai Lombok merah besar yang tidak pedas dengan Lombok kecil merah untuk rasa pedasnya. Tanpa kluwak. Asli bumbu dari bahan segar, tidak pakai bubuk bumbu instan, MSG dan sari apa-apa," jelasnya.

Tidak hanya untuk rawon merah, untuk menu lainnya, Hanny  menggunakan bahan-bahan asli sebagai bahan bumbu. Mulai dari bawang merah, bawang putih, ketumbar, merica, dan semua bumbunya dibeli utuh, dan diolah di dapur Depot Sari secara langsung.

Tidak pakai bumbu instan seperti yang banyak ditawarkan oleh banyak perusahaan pengolah. Hanny memang menolak menggunakan bumbu instan yang biasanya ada pengawetnya atau bahan kimia makanan meski itu dibolehkan.

"Sesuai warisan dari ayah dan kakek saya, tidak ada yang boleh pakai bumbu instan," lanjut Hanny, yang mengelola Depot Sari bersama istri dan beberapa pegawainya itu.

Alumnus Teknik Elektro Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya  tahun 1983 ini kemudian bercerita, bila Depot Sari ini dulunya bernama Depot Badjoel. Nah, Badjoel merupakan bahasa Jawa, bajul, yang artinya buaya.

Dikelola oleh almarhum Kakek atas nama Sam Djojo Prajitno sejak tahun 1930. Karena itu ejaannya masih menggunakan ejaan lama. Jadi, terjawab sudah, mengapa tadi saya melihat ada lambang buaya di salah satu dinding bagian atas.

"Dulu cukup luas, sampai depan Jl Karet itu menghadap Jembatan Merah yang masih kayu. Tidak besi seperti sekarang ini," cerita Hanny.

Sang Kakek mengelola Depot Bajoel hingga tahun 1970. Digantikan ayah Hanny, Bing Slamet Prajitno. Oleh ayahnya, nama depot diubah menjadi Depot Sari. Sari, diambil dengan alasan ingin memberikan rasa yang nikmat sebagai sari sebuah menu makanan.

Ayah empat anak yang juga jagoan kungfu ini mendapat tongkat estafet mengelola Depot Sari. Menu bertambah, Hanny menyebut dirinya menyediakan menu kare ayam, ayam bumbu rujak, Bali bandeng, bali daging, empal goreng sayur asem.

Lalu, ayam goreng kalasan, nasi campur, nasi pecel, gule kambing, sayur asem, sate ayamz sate kambing, sate ginjal sapi, sate sum-sum, dan lain sebagainya. "Tetap ikut arahan kakek dan ayah, bumbu harus asli. Itulah yang menbuat  mahal. Kami memasaknya dengan hati. Silakan rasakan bedanya," lanjut Hanny.

Saat ditanya tentang suasana dapur yang terus sibuk sementara pembeli tidak sebanyak yang terlihat dilayani, ternyata karena Hanny menerima pesanan untuk dikirim ke pembeli. Tak tanggung-tanggung, dari Jakarta hingga Singapura.

Untuk pembeli seperti itu minimal 10 porsi baru dikirim. "Macam-macam, ada yang minta dikirim lewat pesawat atau kereta api. Masakan kami kemas sebaik mungkin, masuk boks dan aman dibawa selama perjalanan. Tanpa pengawet, Maksimal tiga hari," cerita Hanny.

Apakah jualan via online, Hanny mengaku hanya melakukan pengiriman kepada pelanggan yang sudah dikenalnya. Hanny mengaku sangat dekat dengan para pelanggannya.

Baginya pelanggan adalah keluarga sehingga di mana keberadaannya  harus terlayani. Kalau model online-online itu, dia akan kewalahan mungkin karena keterbatasan bahan baku dan tenaga.

Saat menyantap menu yang dipilihkan sang pemilik, rasa nikmat memang terbukti. Rawon merah, berisi irisan daging yang tebal dan lebih dari 10 potong. Bumbu merah kental, dan terasa gurih. Pedasnya pas. "Kalau kurang pedas, bisa tambah sambal gratis, itu di meja," tunjuk Hanny.

Begitu pula menu sop buntut goreng. Tidak bau amis, tidak lengket lemak. Kuah beningnya segar, terasa gurih, dan saat disantap sudah dingin pun tidak ada lemak yang menempel di piring, sendok, atau di sekitar kuah.

"Mantap sop buntutnya. Tak salah kalau seporsi harganya mahal," komentar Syarif, konsumen asal Jombang yang terlihat lahap. Bahkan saking banyaknya daging buntut yang disajikan, Syarif menambah seporsi lagi nasi putih. "Mantap Pak Hanny," ujarnya dengan mulut tak berhenti mengunyah.

Untuk menu minuman,  es teh, teh panas, es jeruk, jeruk panas dan es sirup menjadi andalan meski biasa saja. Menunya biasa, tapi tehnya diberi baru terus, bukan teh yang berkali-kali, gulanya juga asli, jeruknya banyak, dan sirup merahnya, asli buatan sendiri, bukan kemasan.

Soal foto-foto yang dipasang di dinding, Hanny angat senang bila ada pejabat atau artis yang mampir ke depotanya. Dia tidak malu untuk foto bersama kemudian dipasang di depotanya. "Biar dibilang narsis, tapi saya ingin menghargai kedatangan mereka sebagai orang istimewa. Agar depot saya juga istimewa, seistimewa tamunya," tandas Hanny.

Asyik mengelola Depot warisan orangtua membuat Hanny sedikit galau meneruskan ke generasi keempat. Maklum, empat anaknya belum ada ketertarikan. Anak pertama saya tidak mungkin. Karena sekarang sudah jadi dokter gigi, punya klinik sendiri dan sangat mandiri.

Anak pertamanya, drg Samuel Wijaya Kusuma Prajitno, Sp Kg, cukup membuat Hanny bangga. Lulusan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unair dan memilih mandiri membuka klinik sendiri, tidak tergantung untuk menjadi dokter PNS.

Samuel memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi dan piawai dalam profesinya sebagai dokter gigi sehingga banyak teman dan pasien yang dekat seperti dirinya yang dekat dengan pelanggan Depot Sari.

Tiga anaknya yang lain, masih kuliah dan dua terakhir, kembar masih duduk di bangku SMP. "Semoga saja nanti ada yang meneruskan. Saya melihat passion ketiga anak saya selain Samuel untuk mengelola depot belum terlihat," komentar Hanny. (*)

DEPOT SARI
Jl Karet No 112
Surabaya, Jawa Timur
Telp : 031 355 1475
Auto Europe Car Rental