Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bernostalgia dengan Kuliner Tradisional Puthu Lanang di Malang

KALAU kamu berkendara melewati Jl Jaksa Agung Suprapto, sempatkanlah bernostalgia dengan mampir ke kios Puthu Lanang di Gang Buntu Kelurahan Rampal Celaket, Kecamatan Klojen Kota Malang.

Bagi warga Kota Malang mungkin lebih familiar  dengan sebutan Puthu Celaket. Tapi, sejak tahun 2000, mereknya berganti menjadi Puthu Lanang. Tidak sekadar nama, karena sudah menjadi brand sehingga dipatenkan.

Hak paten merek dikantongi sang pengelola, Siswoyo (52) pada tahun 2003. "Mungkin untuk puthu hanya Puthu Lanang saja yang mereknya sudah dipatenkan," ujarnya.

Sebelum namanya dipatenkan, orang mengenalnya sebagai Puthu Celaket karena berada di kawasan Rampal Celaket. Nama kuliner camilan ini dikenal oleh warga Kota Malang karena sejarah puthu ini sendiri.

Puthu Celaket telah eksis sejak 1935.  "Kami tidak bisa memakai nama Celaket untuk dipatenkan karena itu nama wilayah. Akhirnya saya memilih Puthu Lanang karena selama ini ada jajanan bernama Puthu Ayu, masak tidak ada Puthu Lanang," tutur Siswoyo.

Puthu adalah olahan tepung beras yang dicampur dengan gula merah dibagian isinya. Tak lupa taburan kelapa parut diatasnya. Adonan tepung beras dimasukkan kedalam bambu-bambu berukuran kecil berlobang yang kemudian akan mengeluarkan suara denging yang sangat khas.

Belum lagi aromanya dan kepulan asap kecil membuat tak sabar untuk melahap. Setelah itu, susunan puthu berwarna putih atau hijau yang telah jadi dibungkus dengan pelepah daun pisang yang ditusukkan lidi. Proses pembuatan dan alat tradisional yang digunakan menjadikan Puthu Lanang terasa unik dan membuat pembeli bernostalgia.

Siswoyo merupakan anak dari sang pembuat Puthu Celaket, almarhumah Ny Supiyah. Sejak tahun 1935 atau di masa penjajahan Belanda yang kemudian diikuti pendudukan Jepang di Malang, Supiyah berjualan puthu.

Berjualan puthu juga menjadi cara bagi suami Supiyah untuk mengintai kawasan sekitar dari pergerakan penjajah. Supiyah bersuamikan seorang tentara. Berjualan puthu akhirnya terus berjalan hingga masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, orde reformasi, hingga saat ini.

Sejak tahun 2000, Siswoyo mengambilalih pengelolaan puthu dari sang ibu. Dengan memakai merek Puthu Lanang, Siswoyo berusaha melestarikan kuliner tradisional itu. "Ini adalah warisan ibu dan saksi sejarah Malang. Kuliner ini memiliki sejarah panjang yang patut dijaga," tegas Siswoyo.

Meski hanya menempati sebuah kios kecil di gang buntu, pembeli Puthu Lanang mengalir dari yang hanya mengendarai sepeda motor sampai mobil mewah. Artis dan pejabat penting beberapa kali mampir ke kios Puthu Lanang.

Bagi mereka yang tidak mau datang ke kios, ada layanan pengantaran ke tempat tinggal. Hampir setiap hari, pengelola Puthu Lanang mengirimkan 30 tampah puthu ke hotel maupun katering.

Di Puthu Lanang, pengunjung tidak hanya bisa menikmati puthu, namun ada juga lopis, cenil, klepon juga tiwul. Setiap hari Puthu Lanang menghabiskan 100 biji kelapa dan bahan baku antara 40 - 50 Kg. "Kami hanya memakai bahan berkualitas dan tidak ada campuran kimia," terang Siswoyo. (surya)

Kuliner Puthu Lanang
  • Alamat : Jalan Agung Suprapto RT 03, Gang Buntu
  • Open-Close : 17.30 – 22.00
  • Pesan : 0341-4345100
  • Menu : Satu porsi berisi 9 biji
  • Rentang harga : Puthu/10k, Lupis/10k, Cenil/10k, Klepon/10k