Melihat Kawah Ijen Banyuwangi, Melihat Kehidupan yang Sesungguhnya
Khususnya warga Banyuwangi – Jawa Timur, yang tentunya sangat beruntung tinggal berdekatan dengan Kawah Ijen. Destinasi ini bersama Blue Fire mulai dikenal sejak kedatangan 2 turis asal Prancis, Nicolas Hulot & istrinya Katia Kraft, pada 1971.
Mereka menuliskan kisah pesona Kawah Ijen beserta kerasnya kehidupan para penambaang bongkahan belerang di majalah Geo, Prancis. Dua hal inilah yang menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan dan fotografer dunia.
Dari segi panorama alam, kamu tak perlu khawatir, karena wisata ini memiliki pesona alam yang sangat indah. It’s so beautiful scenery. Di pagi hari, kamu akan mendapat suguhan pemandangan sunrise yang sangat menakjubkan.
Selain itu, sinar matahari pagi yang menyinari kawah akan dipantulkan sehingga membentuk warna kemilau hijau toska dari permukaannya. Namun kamu harus berhati-hati, air kawah yang terlihat sangat tenang tersebut ternyata berbahaya looo.
Pasalnya, air belerang di Kawah Ijen memiliki volume air sekitar 200 juta meter kubik dan panasnya mencapai 200 derajat, sehingga ketika nekat untuk masuk kesana, pakaian akan meleleh. Bukan hanya itu, bahkan kamu sendiri juga akan meleleh.
Jadi jangan coba-coba untuk bermain–main mendekati Kawah Ijen yaaaa. Di sisi tenggara Kawah Ijen terdapat lapangan solfatara yang selalu melepaskan gas vulkanik dengan konsentrasi sulfur cukup tinggi sehingga tak jarang dapat menimbulkan bau sangat menyengat.
Sedangkan di bagian barat terdapat bendungan air yang merupakan hulu dari Kali (Sungai) Banyupait. Bendungan ini juga mempunyai daya tarik yang tak kalah bagusnya, namun pengunjung jarang mendatanginya, karena untuk menuju kesana, jalan yang harus dilewati cukup sulit dan sering terjadi longsor.
Bendungan yang ada di dekat Kawah Ijen merupakan bangunan beton yang dibangun sejak masa pemerintahan Belanda. Dahulu bendungan ini berfungsi mengatur level air danau agar tidak terjadi banjir asam. Namun sekarang sudah tidak berfungsi lagi, karena air tidak pernah mencapai pintu bendungan, sehingga mengakibatkan terjadinya rembesan air danau di bawah bendungan.
Pada dini hari objek wisata Kawah Ijen kembali menyuguhkan keindahan yang fantastis. Dari cairan belerang yang mengalir tiada henti di bawah kawah menimbulkan pancaran api berwarna biru (blue fire).
Fenomena ini cuman ada dua di dunia. Pertama, di Islandia dan yang kedua ada di Indonesia. Wah keren yaaaaaaaa ?. Utk menikmati penorama alam ini kamu harus mendaki Gunung Ijen, yang dimulai sekitar jam 02.00 WIB. Saat itu, kalau berjalan dari pintu masuk (Paltuding), udara begitu dingin yang suhunya bisa mencapai 10 derajat Celcius, bahkan bisa mencapai 2 derajat Celcius.
Tetapi itu ini tidak akan terasa dengan suguhan pemandangan yang akan kamu lalui selama perjalanan mendaki. Kawah Ijen merupakan kawah gunung untuk tempat penambangan belerang di wilayan kabupaten Banyuwangi - Jawa Timur.
Boleh dibilang, merupakan tempat penambangan belerang terbesar di Indonesia dan pengolahanya masih menggunakan cara tradisional. Kawah Ijen mempunyai sublimat belerang tak akan pernah habis, karena dapat keluar secara terus menerus dengan sendirinya.
Sublimat belerang ini bermanfaat untuk berbagai keperluan industri kimia selain itu jg bs digunakan untuk bahan penjernih gula. Banyak pengunjung yang telah datang berpendapat, dengan mengunjungi kawah Ijen akan lebih menghargai kehidupan.
Bagaimana tidak. Pengunjung yang ke sana akan banyak melihat para penambang berlalu–lalang, menjajaki sekitar kawah, membelah batuan, lalu mengumpulkan, dan membawa beban itu (belerang) yang sangat berat.
Untuk mengolahnya (kamu bisa melihatnya di Pos Bunder), para penambang masih menggunakan cara tradisional. Lelehan belerang disalurkan melalui pipa yang berasal dari sumber gas vulkanik yang mngndung sulfur.
Gas inilah yang dialirkan melalui pipa lalu keluar dalam bentuk lelehan belerang berwarna kemerah–merahan. Belerang tersebut akan membeku berwarna kuning. Bekuan inilah yang akan diambil oleh pekerja tambang.
Biasanya para penambang belerang melakukan pekerjaanya dengan berjalan kaki, menuruni kaldera sejauh 3 km utk mengambil belerang. Itu bakanlah suatu hal yang mudah dilakukan, karena mereka masih harus menggali terlebih dahulu dengan menggunakan alat seadanya.
Kemudian batu–batu tersebut dipecah dan diletakkan pada dua keranjang sama besar. Seorang penambang belerang bisa memikul batu seberat 100 kg. Hal ini bukan beban yang ringan dan mudah untuk dilakukan. selain itu untuk mengantisipasi bau menyengat dari asap belerang.
Mereka menggunakan alat pernapasan seadanya yang digunakan sebagai masker pelindung. Mereka memikul batu tersebut menuju Pos Bundar. Di sinilah mereka akan menimbang hasil tambang belerangnya. Di pos inilah kamu bisa menyaksikan betapa kerasnya kehidupan mereka.
Beberapa dari mereka terlihat sedang meregangkan otot di keteduhan pohon yang rindang, dan lainnya, mengemasi bongkahan batunya kedalam karung untuk kemudian dipikul menuju truk pengangkut.
Seperti siswa sekolah yang pada pagi hari di absen oleh gurunya, merekapun dipanggil satu persatu untuk menimbang muatannya, kemudian mengubahnya ke dalam rupiah pada saat itu juga.Harga setiap 1 kg bongkahan batu belerang sebesar Rp 330 (semoga sekarang sudah naik ya) namun setelah dibawa ke truk harganya bisa mencapai Rp. 1.330.
Selisih cukup besar, penghasilan mereka tidak sebanding dengan bahaya yang mereka dapatkan dalam mempertaruhkan nyawa. Mengingat sulitnya pekerjaan yang mereka lalui, dalam sehari seorang penambang hanya mampu mengangkut dua kali.
Pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa seperti ini mereka lakukan guna mencukupi kehidupan sehari–hari. Jadi apabila kamu ke sana, janganlah enggan menyapa mereka dan membaur diri dengan para penambang. Mereka ramah dan santun, serta akna memberikan jawaban atas semua pertanyaan yag ingin kamu ketahui.
Sumber : Banyuwangi tourism (@Banyuwangi_tour)