Carilah Dawet Gempol Bu Suparti Ini Dulu Minuman Kesukaan Tentara Jepang
Kalau kamu mau menikmati, silakan temukan di Kabupaten Blitar, atau di Ponorogo. Untuk Kabupaten Blitar, carilah Ny Suparti (43), yang berjualan dawet gempol di Pasar Cungkup. Ibu tiga anak yang asal Dusun Cungkup, Desa Ngrendeng, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, adalah satu-satunya penjual dawet gempol di situ. Pasar Cungkup hanya berjarak sekitar 7 km dari kantor kecamatan setempat. Tepatnya, dari Bendungan Lahor, itu ke arah utara sekitar 9 km.
Bu Sunarti merupakan generasi ketiga yang berjualan dawet gempol. Dia mewarisi bisnis itu dari nenek moyangnya yang berjualan sejak zaman penjajahan dulu. Para tentara Jepang, dulu suka memburu dawet gempol karena dianggap sangat menyehatkan karena berbahan dasar alami dan tidak ada pengawet.
Mengapa masih bertahan berjualan dawet gempol? Bu Sunarti ini yakin, punya banyak pelanggan. Zaman boleh berubah, tapi penggemar dawet gempol tidak rontok. Bahkan, kata para pelanggannya, kalau ke Pasar Cungkup, yang hanya buka pada hari pasaran Pahing saja (lima hari sekali) itu, tak lengkap kalau tak minum dawet gempol Bu Suparti.
"Kalau saya nggak jualan misalnya, mereka mencarinya. Sampai-sampai menaatangi rumah. Ada apa kok nggak jualan. Katanya, kurang lengkap kalau nggak minum dawet gempol ketika ke Pasar Cungkup, " ungkapnya.
Mungkin, di luar Kabupaten Blitar, anak-anak muda boleh tak mengenalnya. Tapi, di Kabupaten Blitar, minuman yang terbuat dari bahan tepung sagu, tepung beras ketan itu, cukup akrab. Setiap kali ibunya ke Pasar Cungkup, anak-anaknya minta dibawakan oleh-oleh dawet gempol.
Pembuatan dawet gempol tidak rumit, ribe. Bu Sunarti menyebutkan, bahannya cukup mudah didapatkan seperti, tepung beras ketan, tepung sagu, santan, gula merah, dan garam. Bahan sagu untuk membuat cendol, tepung berasnya untuk gempol (bulat mirip seperti pentol bakso).
Pilihan WaniMbambung
- Siropen Leo Sirup Legendaris dari Kota Malang
- Breadlife Bawa Roti Fresh dan Terjangkau Lebih Dekat ke Warga Jabodetabek
- Blue Bottle Coffee Unveils First Southeast Asian Outlet At Lumine Singapore
- Amara Singapore Announces Second Edition of “Local Legends” in Collaboration with Chef Damian D’Silva from 2 to 17 April 2025
Harganya? Murah banget gaes. Sangat terjangkau karena hanya Rp 2.500 per mangkok. Bahannya tepung, sehingga dawet itu selain segar untuk dimium apalagi diberi es, juga menyehatkan sekaligus mengenyangkan. "Hasilnya lumayan buat menyambung buat hidup, agar dapur tetap mengepul," ujar Bu Sunarti.
Neneknya ibu ini pernah bercerita, dawet gempol merupakan minuman asli dari Desa Ngrendeng. Konon, di luar desanya, tak menemukan penjual dawet itu. Bahkan, katanya, itu yang membuat pertama kali adalah mbah buyutnya Suparti, Mbah Gempol. Karena itu, dawetnya hingga kini dikenal dengan nama dawet gempol.
Lalu kenapa banyak tentara Jepang memburunya? Sang nenek bercerita, kalau dulu itu, di zaman penjajahan, tentara Jepang suka makan buah klengkeng. Biar orang pribumi tak meniru karena harga klengkeng mahal, Mbah Gempol mencari cara. Akhirnya, dia membuat makanan yang bentuknya dianggap mirip buah klengkeng. Sama-sama bulat dan warnanya putih. Akhirnya diberi nama gempol.
Lama kelamaan gempol, buatan Mbah Gempol itu menjadi terkenal dan merupakan makanan kesukaan warga Desa Ngrendeng dan sekitarnya. Bahkan, sampai ke seluruh kabupaten. Saat itu, Mbah Gempol berjualan di pertigaan Dusun Cungkup atau berjarak 300 meter dari Pasar Cungkup.
Bekas tempat berjualan mbah Gempol dulu itu, sampai saat ini masih ada, yakni, dipakai pedagang berjualan makanan setiap hari pasaran Pahing di Pasar Cungkup. "Meski sudah tak ingat tahun berapa, orang tua di desa kami, masih banyak yang ingat kalau Mbah Gempol itu jualan dawet di pertigaan dusun kami. Katanya, dia jualan siang hari, dan belinya masih pakai uang sen. Kalau nggak salah 15 sen per mangkok," papar Bu Sunarti.
Supaya cita rasanya tidak berubah atau tetap seperti dulu, Suparti mempertahankan keasliannya. Selain tanpa bahan pengawet, juga menanaknya dengan tungku. Yang membuat dawet itu tetap dikenal, karena Suparti tak hanya mengandalkan jualan di pasar. Dia melayani pesanan untuk acara hajatan seperti pesta pernikahan, acara yasin dan tahlil, arisan, termasuk sering dapat pesanan acara di perkantoran, seperti di kecamatan, atau di kabupaten. (mas imam)