Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Warung Kopi Pak Saleh Cita Rasa Kopi Khas Tungku Tanah Liat

WARUNG kopi (warkp) ini seperti kebanyakan warung lainnya di desa. Tidak ada pintu atau sekat, terbuka dengan meja panjang dan bangku tempat duduk dari kayu (dingklik). Tidak ada fasilitas Wi-FI. Warungnya kecil, berukuran 2,5 x 8 meter. Tak adanya sekat, kalau hujan deras, air hujan, masuk mengenai para pengunjung di dalamnya.

Toh, empasan itu tidak membuat pengunjungan panik. Mereka bergeming, beberapa di antaranya,  cukup bergeser sambil mengangkat kedua kaki. Mereka tetap loyal duduk di Warung Kopi Pak Saleh, yang terletak di depan kantor Pelayanan Haji Terpadu Kantor Kementerian Agama Pamekasan (eks kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Cabang Pamekasan).

Nyaris, siang malam Warkop Pak Saleh, selalu ramai pengunjung dari berbagai kalangan. Ada mahasiswa, aktivis, wartawan media cetak, eletkronik, online dan TV. Pimpinan partai politik, pimpinan organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, ulama, pengasuh pondok pesantren, Dandim Pamekasan. Pimpinan DPRD Pamekasan. Pebajat di lingkungan Pemkab Pamekasan.

Bahkan, sejumlah calon legislatif, angota Komisionir Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pamekasan, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawalsu), anggota Polres Pamekasan, anggota Kodim Pamekasan dan Baddrut Tamam (saat masih mencalonkan diri sebagai bupati Pamekasan), pernah mampir ke warung kopi ini.

Sejak Januari 2019, warung kopi ini buka setiap hari, pukul 16.00–23.00 WIB. Kecuali Jumat,  pukul 08.00–11.00 WIB. Sebelumnya, sejak berdiri 1987, Pak Soleh ketika masih menjadi petugas kebersihan IAIN Madura dan  belum pensiun, bukanya hanya waktu sore hari, pukul 16.00-23.00 WIB.

Ramainya Warung Kopi Pak Saleth, konon, karena warung itu dianggap sebagai warung inspiratif  bagi yang sering nongkrong, selain tempat silaturrahmi, berdiskusi dan tukar pikiran. Rahasia lainnya, kopi buatan Pak Saleh ini boleh dibilang punya cita rasa berbeda dibanding kopi tempat lain, termasuk di kafe.

Pak Saleh menumbuk sendiri bubuk kopinya. Tinggal pengunjung memesan varian kopi. Tersedia, kopi tubruk, kopi susu, kopi jahe dan jahe, dengan harga Rp 3.000 per gelas. Murah meriah.  Air yang digunakan menyeduh kopi juga istimewa. Pak Saleh menggunakan tungku tanah liat.


"Pernah jalan 10 km dari rumah ke tempat itu. Tapi pas sampai, warungnya tutup. Wah, pusing, mau ngopi di mana. Sudah telanjur langganan. Jadi, pulang lagi dan pilih nggak ngopi dulu," tutur KH Ghosi Imas, salah seorang tokoh masyarakat dari Kecamatan Tlanakan yang setiap hari ngopi di Warung Kopi Pak Saleh.

Selama ini, dia dan beberapa teman sudah mencoba minum kopi di beberapa warung dan kafe di Pamekasan, tapi rasanya lebih mantap dan nikmat kopi seduhan Pak Saleh. Selain aromanya harum, setelah seruputan kopi masuk kerongkongan, wajah terasa berbinar dan badan segar.

Solehoddin, begitu nama asli Pak Saleh, bersyukur warung kopi miliknya selalu ramai pengunjung. Sejak membuka warung kopi tahun 1987, ukurannya warungnya masih 2,5 x 2,5 meter. Satu meja dan satu kios berisi bubuk kopi, gelas, lepek, camilan, rokok. Saat itu segelas kopi seharga Rp 500. Beberapa tahun kemudian, naik jadi Rp 1.000, naik lagi Rp 1.500 dan belum setahun ini, harganya dinaikkan Rp 3.000 per gelas.


Menurut ayah lima anak ini, tanah tempat warung kopi itu bukan miliknya, tapi menumpang pada tanah orang lain, yang mengikhlaskan padanya untuk ditempati jualan kopi, tanpa dipungut uang sepersenpun. Tapi jika tanah ini sewaktu-wakt dibutuhkan pemiliknya, maka Pak Saleh harus pindah ke tempat lain. Begitu juga, aliran listrik dari tetangga sebelah, yang menyala setiap hari menjelang Magrib hingga tengah malam. (mbah sin)
Auto Europe Car Rental