Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Menyoal Fenomena Begpacker alias Mengemis buat Jalan-jalan

BEGPACKER merupakan sindiran. Berasal dari kata beg dan packer atau istilah yang merujuk untuk seorang traveler yang suka meminta-minta guna membiayai perjalanannya. Biasanya, para pelancong begpacker ini berasal dari Amerika dan Eropa, mudah ditemui di negara-negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Indonesia.

Kalau ke Bangkok, di area Khao San Road,  menjadi salah satu tempat mengais iba para begpacker. Mereka bukanlah tunawisma yang harus mengemis untuk memberi makan keluarga. Mereka sudi menghilangkan urat malu untuk berjajar di jalanan, meminta uang agar bisa kembali ke negaranya atau bahkan kembali berlibur ke tempat lainnya.

Mereka mengemis dengan meletakkan kertas atau karton bertulisan “donasi” di samping sebuah wadah uang. Ada begpacker yang berusaha mendanai perjalanannya dengan mengamen, menjual foto liburan, kartu pos, atau bermain sulap. Mengapa fenomena begpacker hanya terjadi di negara-negara berkembang?

Untuk pergi berlibur ke negara-negara Barat, persyaratan pengajuan visa cukup ketat. Pelancong perlu menunjukkan kemampuan finansial hingga lokasi tujuan yang sudah pasti seperti bukti pemesanan tempat menginap, hingga tiket pulang-pergi.

Beberapa negara Barat menerapkan sertifikasi khusus bagi mereka yang ingin mengamen di jalan. Turis dengan visa kunjungan tak bisa seenaknya menggelar lapak untuk mengamen. Peraturan ini telah diterapkan di Spanyol. Di Plovdiv, Bulgaria Tengah, pengamen harus berstatus diploma pendidikan musik.

Bagaimana dengan Indonesia? Dari sekian turis asing yang masuk, ada sebagian kecil sebagai begpacker. Di Bali, misalnya, pada akhir Januari 2019, tiga turis asal Rusia : Alex (33), Julia (22), dan Bufa (30) diamankan petugas karena kedapatan mengamen di Pasar Beringkit, Mengwi, Badung, Bali.

Mereka menggunakan gitar dan ketipung sebagai modal bernyanyi. Selain mengamen, mereka menghemat pengeluaran penginapan, dan memilih mendirikan tenda di kuburan, dekat pasar. Paspor ketiganya merupakan paspor perjalanan, dan kegiatan mengamen sudah di luar dari izin yang diberikan. Setelah dari Bali, ketiga turis ini bertolak ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Melihat fenomena begpacker ini, sebuah grup menyampaikan kegeramannya. Bahkan, ada admin yang memposting tentang traveler Rusia, bukannya mendapat apresiasi, tapi sebagian time line di dinding Facebook, memberikan komentar negatif.

Seorang netizen, carrie (@crrisatea) mencoba menuliskan analisanya mengenai 'begpacker', backpacker bule yang ke Indonesia, dengan modal duit sedikit dan ujung-ujungnya malah ngemis atau minta donasi dengan narasi bodong atau berjualan dan bekerja ilegal padahal visa turis.

"Prihatinnya, masih banyak orang Indonesia yang memaklumi. Padahal, mereka salah? Harusnya kalau mau liburan harus siap finansial dong. Liburan itu bukan keperluan primer, malu nggak sih dari negara maju malah ngemis ke orang-orang negara berkembang yang makan aja masih susah," katanya.

Menurut Carrie, susah juga memfilter karena kebanyakan turis masuk tanpa visa sehingga pemerintah Indonesia tidak bisa mengecek tabungan mereka. Sebaliknya, orang Indonesia sendiri begitu susah daftar vis ke luar negeri, yang ketentuannya ribet.

Orang Indonesia sendiri banyak yang terlalu baik dan kasihan. Padahal, kalau orang Indonesia yang begitu di luar negeri langsung kena deportasi dan di-ban dari mengunjungi negara itu. Ada di kolom komen Instagram yang mempertanyakan 'biar saja yang penting halal' ya, nggak gitu kali Bambang. 'White privilege apa sih? mana ada?'

Kasus seperti ini terkait dengan white privilege karena pernah melihat orang kulit mana lagi yang pernah kaya begitu? Coba turis kulit hitam atau sesama Asia, ditoleh juga engga sementara bule kulit putih dianggap oleh orang Indonesia sendiri lebih tinggi derajatnya.

Menurut Carrie, bagusnya, Bali sekarang tidak perlu kasih duit kepada mereka (begpacker). Kirim langsung saja ke kedutaan masing-masing. Sering kasus pura-pura sakit atau kecelakaan, dikasi duit, eh malah buat party. Dasar sendal swalow. "Ini bukan masalah kasihan/ga kasihan, ini masalah regulasi imigrasi yang harus dipatuhi," tandasnya.


Netizen lain, Andru (@Widyandaru2) menuturkan, fenomena begpacker ini memang super bangsat dan nyusahin. Imagine kalau orang-orang Asia yang ke negara mereka terus ngemis di sana, minimal penjara atau deportasi, sedangkan di sini mereka gampang dapat duit, hanya dengan bilang “gue cinta negara lo, di sini sangat indah.”

"Mon maap nih monsieur/mister/londo, kami kerja dari jam 7 sampe 5 sore setiap hari, bukan buat ngasih anda2 ini yang terbuai mimpi around the world in shoestring," katanya.

Mentang-mentang kebijakan visa Indonesia itu gampang dan bebas, bukan berarti mister-mister bisa seenaknya jalan tanpa plan (rencana) dan keuangan yang jelas. Ujung-ujungnya menyusahkan imigrasi dan bikin resah masyarakat.


Andru menceritakan ketika keliling Bali, beberapa waktu sebelumnya, melihat begpacker makan di resto Padang, terus tidak mau bayar karena alasan tak punya uang dan malah minta di gratisin. Era hippie traveler sudah lewat, zaman sekarang tidak bisa seenaknya jalan tanpa finansial yang cukup atau tanpa back up apapun.

"Salah satu penyebab begpacker nekat melakukan aksinya adalah budaya warisan era kolonial. Masih banyak orang-orang di Indonesia menganggap semua turis berkulit putih otomatis berkantong tebal dan pasti bisa menghidupi dirinya di Indonesia," tukas netizen lainnya, Aldy G Prayoga (@AldyGPrayoga).

Kalau kamu, apa dan bagaimana pendapatmu?
Auto Europe Car Rental