Cara Mempertahankan Kuah Segar ala Bakwan Nardi
JALAN-JALAN ke kawasan Sutorejo, Surabaya timur, sempatkanlah mencicipi bakwan yang satu ini. Lokasinya di depan Universitas Widya Kartika (UWK), tepatnya di samping ruko sebuah kursus bahasa Inggris.
Bukan sebuah warung atau resto, hanya rombong bakwan biasa yang diangkut dengan sepeda motor. “Sehari-hari memang keliling, tapi khusus Sabtu, saya selalu di sini,” tutur Sunardi, yang empunya rombong.
Rombong Bakwan Nardi mudah dikenali. Ada tulisan dengan latar belakang cat warna hijau. Kebetulan juga, hanya dia satu-satunya yang berjualan bakwan di area itu mulai pukul 09.00 WIB.
Ketika saya mampir, sejumlah pecinta bakwan hilir mudik menghampiri rombong Bakwan Nardi ini. Mulai peserta les bahasa Inggris, orang yang lalulalang di jalan, hingga yang benar-benar datang khusus untuk membeli.
“Kadang jam 12 atau jam 1 siang sudah habis, paling tinggal beberapa pentol saja,” terang Sunardi, pria asal Ponorogo, yang kini mengelola empat rombong dengan merek atas namanya sendiri.
Rupanya, bakwan ini punya daya tarik kuat di bagian kuahnya. Pria dengan tubuh kekar ini meracik sendiri setelah mengolah resep dari tempat kerjanya dulu di sebuah distributor bakwan.
Sunardi memasak setiap hari mulai pukul 05.00. Dari pembelian bahan hingga pengolahan berasal langsung dari tangannya. Kuahnya mendapat perlakuan khusus dengan tambahan ramuan dan rempah lain.
Untuk pentolnya, dia memperbanyak komposisi daging sapi. “Saya selalu bawa yang fresh kalau ider (keliling). Kalau pulang, prinsipnya, jangan sampai bawa retur banyak,” papar Sunardi.
Khusus Sabtu saat mangkal di depang kampus itu, dia membawa 300-an bahan bakwan. Ada goreng bunder, goreng kembang, pentol halus, tahu, siomay dan tentu, penyedap seperti brambang goreng dan daun bawang.
Harganya Rp 2.000 per biji. Pecinta bakwan boleh memilih sesukanya. Bisa dibawa pulang atau dimakan di tempat. Sayangnya, saya nyaris kehabisan mangkuk khusus warna-warni yang menjadi ciri khas Bakwan Nardi. (*)
Bukan sebuah warung atau resto, hanya rombong bakwan biasa yang diangkut dengan sepeda motor. “Sehari-hari memang keliling, tapi khusus Sabtu, saya selalu di sini,” tutur Sunardi, yang empunya rombong.
Rombong Bakwan Nardi mudah dikenali. Ada tulisan dengan latar belakang cat warna hijau. Kebetulan juga, hanya dia satu-satunya yang berjualan bakwan di area itu mulai pukul 09.00 WIB.
Ketika saya mampir, sejumlah pecinta bakwan hilir mudik menghampiri rombong Bakwan Nardi ini. Mulai peserta les bahasa Inggris, orang yang lalulalang di jalan, hingga yang benar-benar datang khusus untuk membeli.
“Kadang jam 12 atau jam 1 siang sudah habis, paling tinggal beberapa pentol saja,” terang Sunardi, pria asal Ponorogo, yang kini mengelola empat rombong dengan merek atas namanya sendiri.
Rupanya, bakwan ini punya daya tarik kuat di bagian kuahnya. Pria dengan tubuh kekar ini meracik sendiri setelah mengolah resep dari tempat kerjanya dulu di sebuah distributor bakwan.
Sunardi memasak setiap hari mulai pukul 05.00. Dari pembelian bahan hingga pengolahan berasal langsung dari tangannya. Kuahnya mendapat perlakuan khusus dengan tambahan ramuan dan rempah lain.
Khusus Sabtu saat mangkal di depang kampus itu, dia membawa 300-an bahan bakwan. Ada goreng bunder, goreng kembang, pentol halus, tahu, siomay dan tentu, penyedap seperti brambang goreng dan daun bawang.
