Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Diserang Babi Hutan dan Tersesat di Gunung Salak

SAYA hendak berbagi pengalaman, masih trauma naik gunung setelah kejadian enam silam. Saya 12 hari tersesat di rumah sendiri (Gunung Salak). Ceritanya, berangkat bersama 5 orang, Senin (18 Juni 2012) siang lewat Pasir Reungit. Tiba di puncak Manik pas Maghrib.

Salah satu teman saya ada yang berbicara (nyeletuk),"Gunung Salak gini-gini  aja yaak. Gak ada yang memacu adrenalin." Tidak lama setelah itu kami mendapat serangan gerombolan babi hutan yang mengobrak-abrik tas-tas punggung kami yang di dalamnya berisi logistik.

Tidak ada yang robek sedikipun itu keril (cariel) atau tas punggung itu. Tapi, yang tidak masuk masuk akal, hewan-hewan itu begitu mudahnya membuka kaleng sarden dan kornet dengan rapi. Tentu saja, ketika malam harinya, kami kelaparan dan hanya bisa makan dedaunan yang bisa dimakan dan sisa-sisa  beras yang berceceran. Semua terpaksa istirahat. Kami memutuskan esoknya harinya (pagi-pagi) pulang.

Dalam perjalanan pulang, kami menemukan jalan bercabang. Kami turun, mengikuti salah satu jalan yang kami anggap dapat membawa kembali ke puncak Manik sebelumnya, ke tempat pesawat Sukhoi jatuh, ke Kawah Ratu. Jalan begitu tidak jelas, tapi bersyukur, kami selalu menemukan sumber air.

Sudah tidak ingat hari, karena yang kami pikirkan adalah pulang dan pulang. Setiap lapar kami makan dedaunan, pisang mentah, macam-macam tumbuh-tumbuhan, yang kami yakini bisa dimakan. Setiap malam, semua resah, ketakutan akan binatang buas. Kami berjaga sepanjang malam, dengan membagi tugas 2 shift. Tiga orang begadang dua orang istirahat/tidur. Namun nyatanya semua tidur semua.

Setiap hari, empat teman saya yang lain, mengeluh, sampai menangis. Cuma saya seorang yang angkuh, tidak mengeluh dan menangis. Terus begitu setiap hari. Jalan semakin rumit tapi kok hanya tempat-teman itu yang kami lewati. Berbagai macam mahluk kami temui dalam perjalanan, Dari, pocong, kunti, genderewo, sampai ular berkepala manusia. Semuanya terlihat jelas, sangat nyata.

Singkat cerita, saya sudah mulai kesal. Yang tadinya angkuh (dalam hati, masak gua anak sini di sesatin di sini), ternyata itu hanya membuat saya tidak menemukan jalan untuk pulang. Saya mulai mengeluh dan merindukan ibu saya. Akhirnya, menetes air mata saya. Sambil bicara dalam hati (ya Alloh saya kangen ibu saya, saya pengen pulang, saya berserah diri kepadamu ya Alloh, ampunilah segala dosa saya).


Banyak yang saya ucapkan pada saat itu namun pakai bahasa Sunda. Setelah itu, saya usap air mata saya dan menengok ke arah kiri. Saya melihat pohon salak yang buahnya besar. Ya, sebesar kelapa, tapi  warnanya merah pink bercahaya.

Ada rasa ingin mengambil buah itu namun hati berkata jangan diambil. Sempat berperang dengan diri sendiri antara ambil dan tidak. Saya memutuskan untuk tidak mengambil buah itu. Setelah saya lihat lagi ke arah yang sama, pohon salak dan buahnya sudah tidak ada, lenyap. Dari situ, kami mencari jalan lagi untuk pulang, dan Alhamdulillah kami menemukan patok yang menuntun untuk turun ke Cidahu, Sukabumi. dan diantar sampai Ciawi.

Ini hanya berbagi pengalaman saja. Sebuah pelajaran berharga, yang dapat diambil hikmahnya. Boleh percaya boleh tidak. Jadi, mari kita bersihkan hati kita, sebelum kita bepergian. Apalagi  ke alam bebas, karena alam mempunyai aturan main hukumnya sendiri. Salam lestari semuanya.

Sumber : Lutfi Vj, Basecamp Backpacker, Foto : gadisgunung19 (pintu masuk jalur pendakian resmi yang disediakan oleh pengelola).
Auto Europe Car Rental